Mohon tunggu...
Ragu Theodolfi
Ragu Theodolfi Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat seni, pencinta keindahan

Happiness never decreases by being shared

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Bukit Fatusuba dan Sejarah Penjajahan Jepang yang Terpendam di Bawahnya

30 Mei 2022   23:01 Diperbarui: 1 Juni 2022   21:15 2815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu pintu masuk ke Gua Jepang (Foto : Pdt. Dhanny Liu)

Kota Kupang dan sekitarnya memiliki sunset yang luar biasa indahnya. Pemandangan matahari terbenam di ujung cakrawala seolah memberi janji bahwa masih ada hari esok yang menunggu. 

Warna jingga yang dihadirkan, membawa suasana yang berbeda yang selalu dinanti. Apalagi pada bulan Mei hingga Oktober, saat matahari bersinar seolah tanpa  jeda, tanpa batas.

Beberapa lokasi yang bisa dijadikan pilihan tergantung dari suasana hati dan kedekatan hubungan dengan alam. Bila Anda adalah pencinta laut, Pantai Lasiana, Pantai Tablolong, pantai seputaran Tenau dan Bolok atau sepanjang garis batas pantai di Kota Kupang menjadi tongkrongan favorit.

Bila Anda adalah pencinta daerah berbukit atau daerah dengan  ketinggian tertentu, memang sangat terbatas jumlahnya di seputaran Kupang. Bukit Cinta Penfui Kupang bisa dijadikan salah satu pilihan bila Anda tidak ingin bertualang lebih jauh. Anda bisa menikmati matahari tenggelam sambil berolahraga di sini.

Baca juga di  sini

Bukit Fatusuba yang Memukau

Fatusuba, adalah sebuah bukit indah yang terletak pada ketinggian 250-300 meter di atas permukaan laut. Fatusuba sendiri memiliki arti ‘tiga batu yang ditanam’.  Pada jaman dahulu, ketiga batu yang ditanam ini menjadi tempat melakukan ritual persembahan kepada leluhur. 

Ritual ini dilakukan oleh penduduk setempat untuk mendapatkan hal yang diinginkan.  Namun, seiring masuknya gereja di tempat ini pada tahun 1958, tempat melakukan ritual ini pun dihancurkan.

Pdt. Otniel Dhanny Liu, istri dan Bunda Julie di Fatusuba (Foto : dokpri)
Pdt. Otniel Dhanny Liu, istri dan Bunda Julie di Fatusuba (Foto : dokpri)
Terletak di Kabupaten Kupang, tepatnya di Kampung Bonen, Baumata, Kecamatan Taebenu, Fatusuba menawarkan pemandangan matahari terbenam yang menawan.

Bukit Fatusuba terletak tidak jauh dari pusat kota. Anda bisa tiba di tempat ini cukup dengan berkendara kurang lebih 15 menit dari Bandar Udara El Tari Kupang atau 30 menit dari pusat kota.

Belum banyak wisatawan yang berkunjung menyaksikan sunset nan indah dari sini. Bagi penyuka suasana yang sifatnya lebih pribadi, tenang dan jauh dari keramaian, Fatusuba layak untuk ditawarkan. 

Untuk mencapai lokasi ini, bisa menggunakan kendaraan roda dua dan juga roda empat. Bila menggunakan mobil, butuh kendaraan yang cukup tangguh, karena pada beberapa bagian tertentu, jalanan beraspal ini rusak.

Warna matahari yang terbalut sinar jingga diantara deretan awan putih yang berarak dan bentangan pepohonan yang hijau, memberi kesan hangat sekaligus menyejukkan. 

Semakin gelap, warna lembayung di ujung senja akan berganti dengan pemandangan lainnya yang tidak kalah menariknya. Kerlap-kerlip lampu yang berpendar dari kejauhan bak cahaya bintang  dengan latar hitam yang misterius.

Warga setempat, telah menyediakan spot foto dengan latar yang menarik.   Anda bisa membawa pasangan, sahabat atau keluarga tercinta ke lokasi ini. Sambil menikmati pemandangan alam yang luar biasa, Anda juga dapat menikmati suguhan kelapa muda dengan harga terjangkau.  

Gua Jepang yang Nyaris Terlupakan

Di lokasi yang sama, terdapat objek lain yang menjadi sejarah kehadiran Jepang pada masa lalu di daratan Timor. Gua Jepang, demikian masyarakat lokal menyebutnya. 

Bagian dalam gua yang lebar (foto : Pdt. Dhanny Liu)
Bagian dalam gua yang lebar (foto : Pdt. Dhanny Liu)

Gua yang notabene dibuat oleh manusia, menjadi catatan sejarah yang  sangat penting, nyaris terlupakan bahkan nyaris ‘terkubur’ diantara hingar bingar kehidupan. Keberadaan deretan gua ini menjadi saksi bisu sejarah kerja paksa atau Romusha pada masa lampau.

Gua atau benteng di bawah tanah yang dibangun pada masa penjajahan Jepang pada Perang Dunia II, terdiri dari bangunan ataupun terowongan panjang mirip labirin yang terhubung satu sama lainnya. Gua ini diduga menjadi benteng pertahanan bawah tanah terbesar di Indonesia.  

Bangunan gua terlengkap

Siapa sangka dibalik bukit-bukit indah, terdapat terdapat kurang lebih 50 ruang atau terowongan yang tertata rapi. Bangunannya bersih,  rapi dan kokoh, mungkin karena dibangun pada tanah kalsit, sehingga nampak seperti disemen kasar. Ujung labirin akan mengarah pada Bukit Fatusuba.

Salah satu pintu masuk ke Gua Jepang (Foto : Pdt. Dhanny Liu)
Salah satu pintu masuk ke Gua Jepang (Foto : Pdt. Dhanny Liu)

Untuk memudahkan wisatawan, tokoh agama di Kampung Bonen, sekaligus pemerhati budaya dan sejarah, Pdt. Otniel Dhanny Liu, bersama istri, saksi sejarah serta warga setempat telah memberi nama untuk setiap gua yang ada di sana. 

Penamaan gua tersebut, didasarkan atas konstruksi fisik gua, benda-benda yang ditemukan di dalamnya dan jarak antar gua yang ada, meskipun untuk ini, butuh penelitian lebih lanjut.

Setiap ruangan gua memiliki fungsi yang berbeda. Terdapat ruangan yang berfungsi sebagai penjara, klinik pengobatan, gudang logistik untuk menyimpan senjata, amunisi, mesiu; pantry atau dapur umum, gudang beras, ruang untuk radio, perpustakaan dan rapat. 

Ruang kecil dalam gua (foto : Pdt. Dhanny Liu)
Ruang kecil dalam gua (foto : Pdt. Dhanny Liu)

Tersedia juga bangunan pemantau satelit yang terhubung pada jalur ke puncak bukit, tempat radar penangkal rudal/pesawat, kastil bawah tanah, apron pesawat tempur, bahkan bar untuk minum-minum bagi pasukan tentara Jepang.

Bahan bakar bagi pasukan Jepang disimpan pada ruangan gua khusus. Gudang bahan bakar ini sempat mengalami kebakaran hebat pada tahun 1943, tersulut obor penduduk pribumi yang mencoba mengambil sedikit bahan bakar dari sana.  Bekas kebakaran tercetak jelas pada dinding gua. 

Terowongan gua yang panjang dengan pahatan dinding yang rapi (Foto : Pdt. Dhanny Liu)
Terowongan gua yang panjang dengan pahatan dinding yang rapi (Foto : Pdt. Dhanny Liu)

Salah satu gua yang cukup angker menurut penduduk setempat adalah gua Paul Pandie. Menurut penuturan saksi sejarah, Paul Pandie ditemukan tewas di dalam gua saat hendak mencuri harta karun yang tersimpan di sana. Penduduk lokal pun tidak ada yang berani mendekati gua tersebut.

Masih banyak ruangan lainnya dengan fungsinya masing-masing. Gua untuk kamar panglima atau para petinggi Jepang terlihat lebih rapi dan berukuran cukup luas. 

Ada juga gua buntu untuk pelayan atau pekerja, juga tempat yang dijadikan tempat pemandian, tempat berleha-leha para tentara Jepang.

Jangan Lupakan Sejarah

Seperti yang tertulis dalam laman tni-au.mil.id 1) Jepang mendaratkan pasukannya di tanah Timor pada tanggal 19 Pebruari 1942. Sehari kemudian, tepatnya tanggal 20 Pebruari 1942, Jepang berhasil menguasai Kota Kupang, setelah mengalahkan sekutunya, Belanda, dibawah pimpinan Mayor Hayakawa.

Ilustrasi propaganda Jepang (Kompas.com)
Ilustrasi propaganda Jepang (Kompas.com)

Propaganda dilakukan Jepang dengan mengaku sebagai Saudara Tua Indonesia, menghadirkan semboyan Jepang pembebas Asia, dilakukan untuk menarik dukungan rakyat Indonesia. 

Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Rakyat Indonesia dipaksa untuk bekerja, membangun prasarana yang mendukung aktivitas tentara Jepang saat itu.

Daratan Timor menjadi tempat pendaratan tentara Jepang pada masa itu karena letaknya yang strategis, berdekatan dengan Australia sebagai anggota sekutu. 

Penduduk setempat pun dipaksa bekerja keras untuk memperbaiki landasan pesawat tempur Penfui (saat ini jadi Bandara El Tari), membangun bunker, gua, terowongan yang digunakan untuk pertahanan tentara Jepang dan juga sebagai benteng untuk menyimpan logistik mereka.

Menurut penuturan sejarah oleh tokoh adat, tokoh masyarakat  sekaligus saksi hidup sejarah, Bapak Niko Bahas, pekerja didatangkan dari Amarasi dan juga dari Pulau Rote.

Dapat dibayangkan sulitnya pekerja pada saat itu menggali bebatuan yang keras. Kondisi tanah di Kampung Bonen, sama seperti tanah di daratan Pulau Timor pada umumnya adalah tanah batu kapur dan kandungan tanah liat > 40% 2).  Bukan perkara yang mudah untuk menggali tanah yang cukup keras pada masa itu.

Masa penjajahan selama tiga setengah tahun tentulah membawa kenangan pahit serta penderitaan bagi para pekerja atau romusha pada saat itu. 

Penderitaan pekerja terekam dalam dinding-dinding bisu hasil pahatan mereka pada setiap ruangan dan lorong-lorong gua. Darah, keringat dan air mata mereka akan terus menjadi bagian yang melekat dari perjalanan sejarah sebuah negeri.

“Jangan pernah melupakan sejarah. Ini akan membuat dan mengubah siapa diri kita”– Soekarno

Kupang, 31 Mei 2022
Ragu Theodolfi, untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun