Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Rakyat Indonesia dipaksa untuk bekerja, membangun prasarana yang mendukung aktivitas tentara Jepang saat itu.
Daratan Timor menjadi tempat pendaratan tentara Jepang pada masa itu karena letaknya yang strategis, berdekatan dengan Australia sebagai anggota sekutu.
Penduduk setempat pun dipaksa bekerja keras untuk memperbaiki landasan pesawat tempur Penfui (saat ini jadi Bandara El Tari), membangun bunker, gua, terowongan yang digunakan untuk pertahanan tentara Jepang dan juga sebagai benteng untuk menyimpan logistik mereka.
Menurut penuturan sejarah oleh tokoh adat, tokoh masyarakat sekaligus saksi hidup sejarah, Bapak Niko Bahas, pekerja didatangkan dari Amarasi dan juga dari Pulau Rote.
Dapat dibayangkan sulitnya pekerja pada saat itu menggali bebatuan yang keras. Kondisi tanah di Kampung Bonen, sama seperti tanah di daratan Pulau Timor pada umumnya adalah tanah batu kapur dan kandungan tanah liat > 40% 2). Bukan perkara yang mudah untuk menggali tanah yang cukup keras pada masa itu.
Masa penjajahan selama tiga setengah tahun tentulah membawa kenangan pahit serta penderitaan bagi para pekerja atau romusha pada saat itu.
Penderitaan pekerja terekam dalam dinding-dinding bisu hasil pahatan mereka pada setiap ruangan dan lorong-lorong gua. Darah, keringat dan air mata mereka akan terus menjadi bagian yang melekat dari perjalanan sejarah sebuah negeri.
“Jangan pernah melupakan sejarah. Ini akan membuat dan mengubah siapa diri kita”– Soekarno
Kupang, 31 Mei 2022
Ragu Theodolfi, untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H