Cerita sukses ini tidak terlepas dari peran seorang camat di dalamnya. Katala Hamu Lingu, masyarakat setempat menyebutnya Kahali, adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sumba Timur, NTT.Â
Camat Kahali, Bapak Thomas Rihi adalah seorang camat yang visioner menurut Saya. Keberanian Camat untuk 'memangkas' adat istiadat yang telah berlaku turun temurun di Sumba bukanlah perkara yang mudah. Â
Pasalnya, Pulau Sumba telah dikenal dengan  aturan-aturan adat yang  sangat solid dan dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan adat yang dibuat. Menurut beliau, acara adat yang ada, terutama pada saat kematian, butuh waktu berhari-hari dan butuh biaya yang sangat besar.Â
Setiap keluarga,  paling tidak harus menyediakan dana  tambahan untuk pengurusan adat yang ada, tentunya ini memberatkan bagi sebagian kelompok masyarakat. Karenanya, Camat Kahali 'memberlakukan' aturan pemangkasan lama pengurusan adat di wilayahnya. Ternyata hal ini berimbas pada kondisi ekonomi masyarakat yang perlahan terbantu dengan aturan ini.
"Orang Sumba kalau yang namanya adat itu sangat lama bisa sampai 12 hari, dan itu butuh biaya yang sangat besar, harus potong hewan kerbau, kuda, babi. Â Jadi Saya pikir bagaimana caranya supaya adat yang panjang itu bisa jadi pendek dan tidak makan biaya banyak. Wah, jadi Saya pikir bagaimana caranya supaya uang yang dipakai masyarakat untuk adat lebih baik dipangkas dan simpan untuk anak sekolah.
Karena masyarakat di sini lebih utamakan adat daripada anak sekolah. Jadi Saya mulai putar otak bagaimana caranya supaya adat itu jadi lebih ringkas. Jadi Saya buat adat kematian yang biasanya 12 hari Saya potong jadi 6 hari saja. Â
Lalu Saya panggil ketua masing-masing klan, di sini ada 49 klan. Saya sampaikan kepada ketua klan dan pertama mereka kaget tapi akhirnya lama-lama mereka bisa terima....."
 Cakupan sumpah adat meliputi perang melawan penyakit, perang melawan kemiskinan, dan perang melawan kekerasan. Perubahan perilaku kolektif, pembuatan Rumah Tunggu bagi ibu yang akan bersalin tercakup dalam semangat memerangi penyakit.Â
Sementara salah satu bentuk perang melawan kemiskinan diwujudkan dalam penyesuaian adat kematian, yang di dalamnya mengatur tentang lama waktu anggota keluarga yang meninggal akan dimakamkan. Â
Awalnya, orang yang telah meninggal akan dimakamkan setelah 12 malam disemayamkan di rumah, dipangkas menjadi enam malam saja; Â pemakaman harus dilakukan dalam waktu enam malam setelah meninggal.Â
Penyimpangan dari ketentuan ini akan dikenakan sanksi adat. Dari pemangkasan jumlah hari sebelum pemakaman yang semula berlangsung 12 hari, masyarakat dapat menghemat sejumlah besar pengeluarannya dan dapat disimpan untuk memenuhi kebutuhan lainnya.Â