Mohon tunggu...
nizar maulana
nizar maulana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Visión: Berkedip

3 Mei 2016   00:23 Diperbarui: 3 Mei 2016   00:49 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rabu, 11 November 2015

Ia duduk saja disana selama beberapa jam. Kulitnya putih pucat, tidak berkeringat. Padahal matahari sedang bersinar sangat-sangat terik. Sungguh, dia akan membahayakan dirinya sendiri apabila dia terus saja melamun seperti itu. Ya, kau tau bagaimana kejahatan di kota metropolitan ini seperti apa. Hmm.. entahlah, dia hanya diam disitu tidak melakukan apa-apa, sesekali dia berdiri, lalu menengok kearah kiri dan kanan, lalu kembali duduk. Siapa yang dia tunggu sebenarnya? Anehnya, tidak ada seorangpun yang memperhatikan wanita itu selain aku. Entahlah. Aku hanya duduk disini, di seberang jalan, memperhatikan wanita itu. Lalu, aku berhenti memperhatikannya karena bus yang hendak menuju kerumahku telah datang.

Duduklah aku disatu sisi, didekat jendela, dimana aku dapat melihat ke seberang jalan. Aneh, wanita itu sekarang berjalan ke tengah jalan! Tetapi tidak ada yang menghiraukannya! Aku langsung saja turun dari bus yang masih ngetemitu, dan langsung berlari ketengah jalan hendak menyelamatkannya. Dan benar saja, lalu, lintas menjadi agak kacau akibat ulahku, tetapi aku terus saja berlari ke arah wanita itu, walaupun sebenarnya aku agak sedikit takut tertabrak.

Tiba-tiba saja, seseorang menarik lenganku, dan menggiringku ke pinggir jalan, seorang polisi rupanya.

“Kamu sudah gila ya dik!, kamu mau ngapain lari-lari di tengah jalan! Mau bunuh diri!?”

Aku hendak menyela omongan pak polisi itu, tetapi ketika aku menoleh ke arah wanita itu, dia sudah tidak disana.

Sialnya, aku dibawa ke pos polisi didekat sana, karena dituduh melakukan percobaan bunuh diri

“Saya tidak mencoba bunuh diri pak, saya berusaha menolong wanita yang hendak bunuh diri di tengah jalan tadi!”

Mereka malah tidak mempercayai kata-kataku, aku mencoba menjelaskannya berulang kali dengan cerita yang tentunya sama. Pada akhirnya mereka, polis-polisi disana menertawaiku, dan menyuruhku pulang.

Apanya yang gila? Sudah jelas aku melihat seorang wanita yang hendak bunuh diri. Malah yang gila sebenarnya adalah orang-orang yang tidak menahan wanita yang hendak bunuh diri itu! Tetapi aneh juga, wanita itu bisa secepat itu menghilang dari tengah jalan sewaktu aku ingin menyelamatkannya.

Kurebahkan saja tubuhku di atas kasur kamar kos yang sempit, dan sedikit bau karena tumpukan baju yang lama tidak ku cuci.

Masih saja penasaran dengan kejadian aneh siang tadi, aku putuskan saja untuk mencari angin, dengan berkililing kota, lagipula besok aku tidak ada jadwal kuliah.

Entahlah kemana, kakiku melangkah tidak tau arah, kini aku sudah sampai di sebuah perempatan gang kecil, dengan sebuah warung kopi disalah satu sudutnya. Aku memutuskan untuk singgah sebentar disana, hitung-hitung menghilangkan suhu dingin dengan kopi hitam panas.

“Bu, kopi hitam satu ya”, sapaku langsung kepada ibu-ibu pemilik warung kopi itu.

Sembari menunggu kopi, kuraih smartphone yang ada di saku celana kiriku, dan langsung mengecek beebrapa sosial media yang aku miliki. Tidak, tidak ada yang aneh. Isinya hanya aktivitas sehari-hari temanku, dan beberapa lainnya hanya menyampah.

Tak lama kemudian, kopi hitam pesananku datang. Tidak seperti kopi hitam buatan ibuku di kampung, tapi ya sudahlah.

Tunggu! Aku baru ingat, malam ini aku memiliki janji dengan seorang temanku untuk mengantaranya ke toko buku. Akh! Padahal baru saja kopiku datang.

Benar dugaanku, kini temanku itu telah menelponku

“Iya, sebentar, Aku lupa... aku lagi ngopi di gang 9.... iya, ini mau balik, ngambil motor sama helm, terus langsung ke kosmu”

“Nggak usah deh, mending pake motorku aja, aku yang nyusul”, dia sepertinya terburu-buru.

Tidak heran juga kalau dia begitu terburu-buru, sekarang pukul tujuh malam, perjalanan ke toko buku seharusnya bisa ditempuh selama 15 menit, tetapi, karena macet bisa sampai 30 menit, sedangkan toko buku ditutup pukul setengah sembilan malam.

Setelah membayar kopi itu, aku beranjak menunggu temanku itu. Cukup  lama juga rupanya, padahal kosnya berada di gang 7. Oh ya, temanku ini, namanya Wildan, tetapi dia biasa dipanggil Wiwi. Entahlah, aku tidak ingin membahas lebih jauh tentang dia. Kalian nanti pasti mengenalnya

“Ke kosku dulu ya, ngambilhelm”

“Nggak usah lah, ini udah aku bawain!”, ujarnya sambil menyodorkan kepadaku sebuah helm, helm berawarna pink polkadot, huh, yang benar saja!

Kami pun langsung berangkat ke toko buku itu. Benar dugaanku, macet total. Mobil-mobil berdesakan, pengendara motor yang tidak sabaran menerjang trotoar karena terburu-buru, pejalan kaki yang juga tidak sabaran mengambil selasela jalanan untuk menyebrang. Dan tentu saja keringat kami bercucuran akibat mesin-mesin mobil yang kepanasan.

Setelah berjuang melawan kemacetan, akhirnya kami sampai di salah satu toko buku yang terkenal seantero negeri ini. kamipun masuk dan disambut oleh dinginnya AC. Ampun, sejuknya membuatku ingin berlama-lama disana.

“kamu nggak nyari buku juga?”, ujar Wiwi, “aku nyari buku disana, kalo nyari aku, ya palingan disana, atau nggak jauh-jauh dari sana”

Aku berjalan menuju ke arah rak buku yang berisi buku-buku sejarah, dan membaca beberapa buku yang plastik-nya sudah terbuka. Tidak tahu siapa yang membuka, tapi yang jelas aku berterima kasih kepada orang-orang nakal yang membuka plastik buku-buku di toko ini, sehingga kami, orang-orang yang tidak memiliki cukup uang untuk membeli buku, dapat membaca dan mengambil ilmu dari buku-buku gratisan ini.

Ketika sedang asyik-asyiknya membaca buku, tiba-tiba saja telingaku diriuhkan dengan suara gadis kecil yang menangis sendu, dan sekali lagi, orang-orang seolah tidak mendengar suara itu. Aku meletakkan buku itu kembali ke tempat semula dan mencari dimana asal suara itu. Tidak, tepatnya siapa yang sedang menangis.

Aku menyusuri setiap rak buku yang ada di toko buku ini. satu rak buku, dua rak buku, tiga rak. Hmm.. tidak ada tanda-tanda ataupun keberadaan gadis kecil yang sedang menangis.

“Mbak, ada gadis kecil nangis dari tadi, kayaknya nyariin orang tuanya, kok dibiarin aja sih?”, protesku kepada salah seorang penjaga toko buku tersebut.

“anak nangis? Dimana mas? Dari tadi saya jaga disini tidak mendengar suara gadis kecil nangis.”

Kami berdua akhirnya akhirnya pergi mencari keberadaan gadis kecil itu. Mbak-mbak petugas toko itu masih tidak percaya jika aku mendengar suara gadis kecil yang sedang menangis. Bahkan seisi toko ikut ricuh karena perdebatan kami yang semakin panjang lebar.

“Maafkan karyawan saya yang sudah bersikap kasar terhadap anda, tetapi memang tidak ada seorangpun disini yang mendengar atau melihat seorang gadis kecil yang menangis”, kata sorang kepala cabang atau apalah sebutannya dalam dunia mereka.

“tetapi saya jelas-jelas mendengar ada gadis kecil yang menangis di sekitar sini pak”, ketika aku hendak menunjukkannya kepada orang itu, suara gadis kecil itu menghilang.

Aku pun diam seketika, dan meng-iyakan kata-kata orang itu. Tetapi hati dan pikiranku masih saja tidak terima dengan keberadaan misterius gadis kecil itu.

Aku kembali menyusuri rak-rak buku satu persatu. Kini lebih jeli dan lebih teliti lagi.

“Ayo pulang”, Wiwi mengagetkanku. Dia telah mendapatkan buku yang dia inginkan, dan mengajakku untuk segera pulang.

“Tunggu aja didepan, nanti aku nyusul”, jawabku yang masih penasaran. Aku kembali mencari, namun akhirnya putus asa. Mungkin memang seharusnya aku pulang saja, petugas toko dan satpam-satpam disini sepertinya sudah memperhatikanku sejak tadi.

Baru saja kaki kananku melangkah, tiba-tiba saja, suara itu terdengar lagi, kini lebih keras dari sebelumnya. Dan jelas terdengar tepat dibelakangku. Aku berbalik arah, namun tidak ada apa-apa, dan suara itu kembali menghilang.

“sialan!”, umpatku dalam hati. Siapa yang sebenarnya mempermainkanku?

Aku kembali mendengar suara itu, tetapi kini aku mengacuhkannya, aku pergi keluar toko itu, dan mengajak Wiwi pulang.

Tunggu, disebelah pintu masuk toko buku itu, tepat disebelah kiri! Seorang gadis kecil memperhatikanku, wajahnya pucat, matanya sembab, dan nafasnya tersengal-sengal sepertinya habis menangis.

Aku terpaku kearahnya beberapa detik, memperhatikan siapa sebenarnya gadis kecil itu. Tiba-tiba saja dia seperti ketakutan, dan sontak berlari ke sebuah lorong kecil. aku berlari mgnikutinya masuk ke lorong itu dan tidak mempedulikan Wiwi yang memanggilku. Aku terus saja berlari, melewati lorong remang-remang itu, dan berhenti di sebuah gang buntu. Gadis kecil itu menghilang.

*Bersambung*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun