Tak ada respon. Aku hanya melihat lirikan nakal dari perempuan bersayap yang begitu menusuk perasaanku. Ah, mata itu, kenapa cerita Shakespeare mendapat tempat dalam keadaan seperti ini? Sepertinya kisah tentang panah Cupid dan cinta pada pandangan pertama benar-benar terjadi. Semoga aku tidak sedang bermain FTV!
“Kau tahu, Peri, aku lebih senang berteman dengan kematian, asal bisa merasakan adegan mesra seperti tadi!” kubisikan kalimat ini lekat-lekat di telinganya.
***
Lampu merah, kecepatan motor berkurang. Aku kembali ke alam sadar. Tak ada Peri, tak ada bintang seukuran payudara remaja, tak ada pula ciuman yang mengusir kematian. Dalam kenyataan hanya ada penjual kacang di lampu merah, serta supir mikro yang sibuk mencari penumpang.
Kulihat kekacauan. Ada yang kembung menghirup polusi, ada yang sibuk menebar polusi. Ada yang kekurangan udara, ada juga yang menikmati fasilitas air conditioner di dalam mobil. Kenyataan adalah kekacauan itu sendiri, dan kita hanya diberi kesempatan untuk bertarung sampai lelah, sampai mati.
Klakson berbunyi. Ribut. Lampu sudah hijau, tapi beberapa pengendara tak sabar untuk segera mengoperasikan mesin dan roda. Padahal, siapapun tahu, lampu hijau adalah tanda setiap kendaraan bermotor diberi kesempatan jalan. Tapi pengendara mobil dan sepeda motor selalu diburu kesibukan. Mereka seperti merasakan tusukan di kulit setiap kali terlambat beberapa detik saja memanfaatkan lampu hijau. “Sial, aku tahu lampu sudah hijau! Tapi, toh, mesin ini butuh proses untuk beroperasi. Dan lagi, apa semua orang di kota ini sedang buru-buru karena rasa berak?” Blaze mengeluarkan suara parau.
Jalan sudah berjarak. Kuda besi mulai merangkak. Kami bercerita mengenai banyak hal sepele, berbagai hal remeh.
Jarum spido bergerak agak gemetar, tapi aku melihat ia membelai-belai angka 100 km per jam. Semoga tak bertambah lebih dari ini, sebab aku merasakan arwahku mulai keluar tersapu angin yang begitu kuat. Pemandangan jalan tak lagi mempesona, bahkan lampu-lampu kota terlihat seperti lilin yang dihembus angin.
Spido tak kunjung turun, Blaze membuatnya bertahan pada posisi seratus. Mungkin berminat menambahkan tekanan lebih, sebab aku melihat spido seperti memasakan diri untuk menyentuh angka 120 km. Ah, ini gila. Kemungkinan yang terjadi semakin sulit ditebak. Segalanya bisa terjadi saat motor melaju dalam kecepatan tinggi. Keahlian tak bisa jadi satu-satunya harapan. Aku rasa, dalam keadaan begini, kejutan adalah musuh utama. Barangkali.
***
“Silahkan masuk!” Peri menggandeng tanganku dan membawa ke suatu ruangan yang tak kuketahui. Pintu yang baru saja didorongnya terbuat dari emas, dan ketika berada di dalam ruangan aku melihat dinding-dinding dari kristal. Takjub. Belum pernah memasuki tempat semegah ini sebelumnya. “Waw, ini seperti Olympus. Aku pernah melihatnya dalam film Hercules. Kira-kira di mana Zeus berada?”
Peri hanya tersenyum tanpa jawaban. Barangkali, ia ingin menjawab lebih halus – untuk tidak mengatakan tolol. “Sebut saja semaumu. Beberapa orang lebih mengenalnya dengan nama Surga. Silahkan duduk. Aku akan membuatkan minuman untukmu.”