“Selalu ada iblis di antara sepasang kekasih yang menyendiri.”
Katakanlah iblis benar adanya. Katakanlah ia ada di dalam hati dan pikiran manusia. Lalu, katakanlah kita mesti percaya dengan omong kosong ini. Dan, kita akan mendapati bahwa iblis tak lebih baik dari keranjang sampah. Ia sengaja diciptakan sebagai sosok yang patut dipersalahkan atas segala dosa yang diperbuat manusia. Ia, sejak mulanya dan sampai selamanya, menjadi kambing hitam ketika manusia baru saja merampungkan hal-hal yang dirasa tidak semestinya.
Aku tidak bermaksud membicarakan dosa di sini, dan lebih senang mendefinisikannya sebagai laku menjauhi moralitas. Dengan begitu, tiap individu yang berani menanggalkan kaidah-kaidah normatif akan merasa sebagai seorang yang kuat dan yakin terhadap keputusan personal. Barangkali benar juga, penyimpangan selalu menjadi konsekuensi dari sebuah stabilitas.
Katakanlah iblis dan dosa hanyalah konstruksi ide manusia mengenai sesuatu di luar dirinya. Katakanlah manusia sengaja membuat dosa dan iblis sebagai batas-batas untuk tindakan tertentu. Maka, sudah tentu konstruksi ide tadi menunjukkan sisi egois manusia yang tak berani mengakui kesalahan-kesalahan yang telah dibuat. Iblis menjadi subjek akhir yang harus dipersalahkan. Dan, dosa tak ubahnya imbalan semu yang dengan berat hati – meskipun tidak memiliki konsekuensi jelas –harus diterima manusia.
Katakanlah mitos itu benar-benar nyata, bahwa iblis menjadi provokator dari tindakan-tindakan ‘banal’ yang meledak dari sepasang kekasih yang menyendiri. Maka, kita bisa menemukan penyesat yang baik hati sekaligus bodoh. Maksudku, iblis memberikan dosa manis yang sama sekali tidak ia coba, selain menjadi pemandu sorak yang gaduh dan semu. Ia tak lebih dari penonton yang menyaksikan kobaran cinta yang membakar seluruh konstruksi moralitas dominan.
Bagaiamana bila kebenarannya adalah “selalu ada sepasang kekasih di antara iblis yang menyendiri”? Tidakkah kita berdua adalah parasit dari keterasingan iblis? Bukankah euforia kemesraan kita seperti tindakan bersenang-senang di atas penderitaan makhluk itu?
“Tapi iblislah yang menyesatkan manusia pertama,” katamu. Ya, aku sudah lama mendengar cerita tadi. Konon, iblis membujuk wanita pertama untuk makan buah pengetahuan tentang baik dan buruk – dan itulah penjelasan mengenai lahirnya dosa yang paling bisa diterima. Ah, kenapa pengetahuan diidentikkan dengan dosa? Apakah kita diciptakan untuk hidup dalam ketidakmengertian? Bukankah tidak adil menjalani hidup dengan kebimbangan, apalagi ketidaktahuan?
Barangkali, “iblis membujuk manusia untuk memakan buah terlarang, agar wanita pertama tidak membujuk pasangannya untuk memakan iblis”? Entahlah.
Lalu, katakanlah Tuhan menciptakan segala kebajikan… lantas dari mana (siapa) datangnya kejahatan?
Aku tidak ingin memperdebatkannya di sini, cantik, selain mengatakan padamu bahwa iblis dan Tuhan bisa saja terelaborasi dalam ledakan hasrat manusia. Mereka tidak menjadi sebab, mereka justru menjadi akibat dari tiap perbuatan. Barangkali kau tak akan sepakat dengan asumsi barusan?
Tak usah ambil pusing, manisku. Kita hanya perlu bertindak berani sebagai manusia, dan tidak mempersalahkan siapapun atas segala tidakan yang sudah diperbuat. Bukankah, hidup adalah drama tanpa naskah? Dan, bukankah heroisme esok hari adalah imajinasi konyol motivator murahan yang hidup dari kelemahan manusia-manusia menyedihkan?
Ah, cintaku, teruslah bakar hasrat ini atau sudahi semuanya. Kita bebas melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Kita bebas sebagai manusia dan bukannya gumpalan daging yang digerakkan oleh seperangkat nilai dan norma yang sama sekali tidak pernah kita buat namun harus disepakati.
Pikirkan baik-baik semua ini. Mungkin iblis sedang duduk di ujung kamar sambil menatap kita dengan wajahnya yang dungu itu, atau iblis tidak lebih dari gosip yang dibuat agar kita tetap tunduk dalam inferioritas manusia-manusia jaman pencerahan sampai abad modern?
Kau boleh tak sepakat dengan ini. Tapi, aku hanya ingin menjadi manusia yang berani menerima konsekuensi atas segala tindakan yang sudah diperbuat, yang sudah dilakukan. Kau boleh saja berpihak pada kenyataan hidup yang seragam, lalu menggadaikan segala hasrat manusiawi pada doktrin-doktrin kacangan tentang kebajikan untuk kejahatan, kesabaran dalam penindasan atau kehidupan setelah mati. Kau boleh saja memilih itu.
Tapi aku tidak mau. Aku punya jalan sendiri, jalan yang dikata sesat karena tak seorangpun yang berani dan mau melintasinya. Bahkan iblis sekalipun tak kulihat di jalan ini.
… Katakanlah iblis benar adanya, maka surat ini adalah suatu pembelaan untuk makhluk tak berdaya, menyedihkan dan baik hati itu. Surat ini adalah pembelaan buat iblis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H