Ah, cintaku, teruslah bakar hasrat ini atau sudahi semuanya. Kita bebas melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Kita bebas sebagai manusia dan bukannya gumpalan daging yang digerakkan oleh seperangkat nilai dan norma yang sama sekali tidak pernah kita buat namun harus disepakati.
Pikirkan baik-baik semua ini. Mungkin iblis sedang duduk di ujung kamar sambil menatap kita dengan wajahnya yang dungu itu, atau iblis tidak lebih dari gosip yang dibuat agar kita tetap tunduk dalam inferioritas manusia-manusia jaman pencerahan sampai abad modern?
Kau boleh tak sepakat dengan ini. Tapi, aku hanya ingin menjadi manusia yang berani menerima konsekuensi atas segala tindakan yang sudah diperbuat, yang sudah dilakukan. Kau boleh saja berpihak pada kenyataan hidup yang seragam, lalu menggadaikan segala hasrat manusiawi pada doktrin-doktrin kacangan tentang kebajikan untuk kejahatan, kesabaran dalam penindasan atau kehidupan setelah mati. Kau boleh saja memilih itu.
Tapi aku tidak mau. Aku punya jalan sendiri, jalan yang dikata sesat karena tak seorangpun yang berani dan mau melintasinya. Bahkan iblis sekalipun tak kulihat di jalan ini.
… Katakanlah iblis benar adanya, maka surat ini adalah suatu pembelaan untuk makhluk tak berdaya, menyedihkan dan baik hati itu. Surat ini adalah pembelaan buat iblis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H