Mohon tunggu...
Dimar Pamekas
Dimar Pamekas Mohon Tunggu... -

Hanya seorang penulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ilusi / Fakta

8 September 2010   09:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:21 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah aku termasuk seorang pemimpi? Apakah aku termasuk dalam kumpulan orang-orang yang terganggu jiwanya, karena aku memimpikan seseorang yang takkan kembali? Tapi kalau aku tidak waras, mereka di atas sana juga tidak waras karena memimpikan masa kejayaan yang takkan pernah kembali pula.

Apakah aku termasuk seorang pemalas? Karena aku semestinya melakukan tugasku, tapi malah menganggur, patah semangat? Tapi kalau begitu, mereka di atas sana juga termasuk golongan pemalas karena bukannya melaksanakan hal-hal yang semestinya menjadi tugas mereka, tapi malah menganggur.

Jadi siapa aku sebenarnya?

Seorang pemimpi? Seorang pemalas? Seorang yang hina kah? Seorang yang bertindak selayaknya kewajaran saja? Seorang yang biasa-biasa saja? Sungguh, di saat-saat seperti ini, krisis identitas yang merupakan sesuatu yang lumrah bagi remaja sepertiku bisa terasa amat menyakitkan. Apakah aku gila? Buta karena cinta? Sakit karena rindu? Rindu yang takkan pernah bisa kuhilangkan.

Cinta itu sesuatu yang klise, mudah ditebak. Tapi anehnya kita selalu merasakan sebuah kejutan bersamanya, meskipun kita sudah bisa menebaknya. Dan karenanya pula cinta selalu berbanding terbalik dengan logika. Itulah, perasaan itulah, yang tidak bisa kulepaskan dari hati. Layaknya parasit yang menggerogoti hatiku sedikit demi sedikit dengan perasaan rindu, menusuk dengan tusukan yang indah namun sangat menyakitkan, menempel tanpa bisa lepas.

Orang-orang selalu bilang padaku, “Cari saja perempuan lain” atau “Dunia ini tidak selebar daun kelor” atau, lebih klise lagi, “Jodoh pasti takkan kemana” tapi hatiku bukan hati yang bodoh. Tidak akan semudah itu menyerah pada kata-kata cetek seperti itu. Orang bilang aku gila, mengejar seseorang yang tidak mungkin kudapat. Tahu apa mereka? Aku hidup dalam status quo yang kubuat sendiri sebagai sebuah kerangkeng pikiranku, dan aku merasa nyaman hidup begini.

Aku takkan menyerah, apapun yang terjadi. Atau awalnya, begitulah tekadku. Sungguh tekad yang murahan, yang bisa kau temukan dengan mudah di sinetron-sinetron yang kau tonton setiap hari itu. Meskipun, sekarang semuanya hanya tameng belaka. Aku berusaha menutupi kenyataan. Aku sungguh naif. Seorang yang naif, yang naive, mungkin seperti itulah aku. Tidak, tidak, bukan begitu, aku tidak serendah itu. Setidaknya menurut diriku sendiri. Terserahlah kata orang lain.

Ya, itulah aku. Aku yang tidak suka menuruti perkataan orang lain. Bahkan kalau mereka berkata benar. Meskipun secercah titik di hatiku selalu berkata aku salah, tapi aku tidak menghiraukannya. Takkan kubiarkan secercah titik itu menjadi nila yang merusak susu sebelanga. Aku ingin aku yang sekarang tetap menjadi aku di masa depan. Mempertahankan status quo yang nyaman ini, meskipun itu salah.

Aku adalah seorang pemikir. Bukanlah hal yang lazim bagi remaja sepertiku, seusiaku untuk banyak berpikir. Maka, seperti banyak pemikir lainnya, aku hanya menyembunyikannya saja, memasang muka dua sebagai orang yang banyak bicara dan suka bercanda, sementara sebenarnya aku adalah orang yang serius, banyak berpikir. Aku ini seorang pembohong. Ya, pembohong, meskipun aku sendiri tidak beranggapan begitu.

Hanya satu hal yang bisa menembus segala benteng pikiranku, muka duaku, sifat palsuku. Cinta itu, yang dia berikan dengan murni dan jernih, yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Tentu saja semua orang yang pernah merasakan cinta pasti berkata begitu. Meskipun, itu semua hanya ilusi. Tapi mereka, dan aku, menganggap itu fakta. Walaupun pikiranku tahu, tahu benar, bahwa cinta hanya ilusi belaka, namun perasaan itu telah menempel di hatiku bagai benalu.

Usaha satu tahun bisa hilang dalam satu menit saja, begitu kata seorang bijak. Dan mungkin, peribahasa itu paling tepat menggambarkan keadaanku saat ini. Hubungan yang telah kugarap, kujahit selama berbulan-bulan hilang seketika. Lenyap, musnah, hanya dalam satu menit, tidak, hanya dalam beberapa detik saja. Karena itu, aku masih mengurung diriku di kandang kecil yang bernama ilusi. Dalam status quo itu, yang dengan senang hati menjebakku sendiri.

<><><><><><><><><><><>

Aku tak pernah, sekalipun tak pernah, membayangkan semuanya akan terjadi. Lagipula siapa yang mau? Tapi entah apa yang kuperbuat sehingga aku sekarang harus menanggung beban ini. Saat bel tanda pulang sekolah berbunyi, teman-temanku, dengan tanda kutip tentu saja, pulang duluan dengan cepat seolah dikejar sesuatu yang menakutkan. Aku seperti biasanya diam, masih duduk mematung sendirian menunggu semuanya pulang.

Tidak ada yang memperhatikanku, seperti biasanya. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Saat seperti ini mereka bertindak individualistis, sementara saat ulangan mendadak aku seakan-akan harta karun bagi mereka. Aku sudah terbiasa, sungguh, terbiasa, meskipun aku tetap heran kenapa manusia bisa begitu tidak konsisten, plin-plan. Tiba-tiba, sebuah suara menyapaku, membuyarkan lamunanku.

“Hai.”

“Oh.. kamu.. aku tidak ingat..”

“Haha, masa’ kamu gak ingat aku? Ini aku!”

“Oh, Jessica! Ada apa? Setahuku.. tidak ada ulangan atau tugas yang mendesak dalam waktu dekat.”

“Ah, jangan sinis gitu dong. Aku gak kayak yang lainnya, aku disini cuma.. buat… eng.. sesuatu aja.. nomor HP kamu?”

Wajahnya jelas-jelas memerah saat mengatakan hal itu. Aku yakin, haqqul yakin bahwa dia punya perasaan yang berbeda padaku. Sama sekali berbeda. Anehnya, aku mendadak lupa perasaan apa itu, yang mengganjal dan bersarang di hati. Aku pun, merasakan perasaan yang sama terhadapnya dan sebenarnya ingin melompat-lompat riang saat dia mengucapkan kalimat itu.

“Hei!!!!”

“Ah, iya. Maaf, tadi aku melamun. Ini nomor HP-ku…”

<><><><><><><><><><><>

Tanpa terasa, enam bulan telah berlalu. Jessica, teman sekelasku itu, sekarang sudah menjalin hubungan denganku. Cinta, begitulah nama perasaan aneh itu. Butuh waktu satu bulan untuk menyadarinya. Aku sendiri keheranan, aku yang seorang pemikir butuh waktu lama untuk menemukan perasaan itu. Mungkin karena aku bukan orang yang senang bergaul, tapi mungkin juga karena aku baru pertama kali merasakannya.

Kuakui, aku termasuk orang yang sulit, sangat sulit jatuh cinta. Tapi, orang sepertiku yang sulit jatuh cinta ini kalau sudah berhasil jatuh cinta pada seseorang dia akan mencurahkan segala rasa kasih sayangnya dan akan sangat, sangat cinta terhadap orang yang dicintainya. Begitulah aku. Awalnya memang perasaan mengganjal itu hanya sedikit saja, tidak kuhiraukan. Tapi semakin dekat dengannya, rasa itu semakin mencekikku bagai ular anakonda bila didekati.

Karena itu, sekarang aku sudah benar-benar cinta padanya. Lebih dari apapun. Aku tahu aku terdengar begitu klise, tapi cinta memang sebuah hal yang pada keseluruhannya klise.

“Hei, San, kamu belum pulang juga? Ayo.”

“Ah, Jess, sayangku, aku tadi hanya.. melamun. Kalau begitu, ayo kita pulang.”

Kami berdua pulang bersama, berpegangan tangan. Jujur, aku akui sebenarnya dia merupakan seorang perempuan yang cantik, amat cantik. Kulitnya putih mulus, dengan potongan badan tinggi semampai, rambut hitam panjang dan hidung mancung. Bukan hanya itu, sifatnya pun tidak seperti perempuan kota kebanyakan, yang sering menghambur-hamburkan uang di malam hari dan menjual diri.

Dia seorang perempuan yang baik, amat baik. Sifatnya yang ramah dan hangat membuat semua orang tertarik padanya, dan tentu saja melemparkan pandangan iri padaku setiap aku berjalan bersamanya. Dia jarang memakai make-up, hanya sedikit saja sebagai sentuhan akhir, sekadar finishing touch untuk penampilannya yang sudah cantik itu. Dan itu membuatku makin cinta saja padanya.

“Jess, bisa kita duduk di sana sebentar?” tanyaku sambil menunjuk kearah sebuah pohon rindang.

“Tentu saja. Aku juga sebenarnya pengen kok.”

Maka, kami berdua duduk di bawah naungan pohon mahoni itu. Sebenarnya, aku mengajaknya karena ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya. Hal yang sangat penting. Sudah lama, aku ingin mengatakannya.

“Jess..”

“Apa?”

“Maukah kau menikah denganku?”

<><><><><><><><><><><>

Setelah lulus SMA, akhirnya aku diterima di sebuah universitas ternama di kota ku. Begitu pula dengan Jessica, ia diterima di universitas yang sama meskipun fakultasnya berbeda. Dia mengambil jurusan Sastra Inggris, sementara aku mengambil jurusan Hubungan Internasional. Jurusan pilihan orang tuaku, meskipun sebenarnya aku tidak ingin mengambil jurusan tersebut tapi mereka membujukku, dan aku terpaksa mempertahankan muka duaku.

Tapi, aku tidak marah pada mereka. Setidak-tidaknya, mereka merestui pernikahanku dengan Jessica, yang akan dilaksanakan seminggu lagi. Baik aku maupun dia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan kami. Aku masih ingat, sangat ingat, saat-saat ketika dia pertama kali menyatakan cintanya padaku.

“Ikhsan, sebenarnya aku memanggilmu kesini.. untuk menyatakan sesuatu yang penting padamu.”

“Apa itu?”

Waktu itu, aku masih tidak tahu apa yang akan dia katakan, meskipun aku merasakan perasaan yang sama dengannya dan aku tahu itu. Tapi tetap saja, aku tidak bisa menebaknya, meskipun hal itu adalah hal yang klise, hal yang sering sekali aku dengar dan idamkan.

“Aku cinta kamu, San. Kamu mau kan jadi pacarku?”

Tiba-tiba, jantungku berdegup kencang, sangat kencang. Aku tidak pernah menduga ia akan sefrontal ini. Sejak aku lahir, baru pertama kali ada yang bilang begini padaku. Dan tentu saja, aku melakukan sesuatu yang memang seharusnya dilakukan laki-laki normal di saat seperti itu.

<><><><><><><><><><><>

Ah, sungguh banyak kenangan yang aku alami bersamanya. Baik pahit maupun manis, dia selalu ada mendampingiku, ada di saat aku membutuhkannya. Aku tersadar dari lamunanku dan keluar dari tempat tidur yang selalu jadi tempat berimajinasiku itu. Aku pergi ke dapur dan kemudian menyeduh kopi sebagai teman menjalani pagi hari.

Bayangan dirinya kembali menjajah pikiranku, dan aku membiarkannya. Itu hal yang wajar, bahkan bagi seorang pemikir sepertiku. Sementara wajahnya terus terbayang, aku mengambil koran pagi yang tergeletak di halaman, baru saja diantarkan loper sepertinya, dan mulai membacanya. Meskipun, sebenarnya aku tidak benar-benar membacanya. Bayangan wajahnya terus mengalihkan perhatianku, dan aku hanya membaca berita yang sama berulang-ulang tanpa bahkan memerhatikan isinya.

Kebetulan, ayah dan ibuku sedang tidak ada di rumah. Mereka sedang ada perjalanan dinas, atau begitulah kata mereka. Aku tidak peduli alasan apapun yang mereka katakan, aku tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan. Tapi aku membiarkan mereka, sedikit banyak karena aku terlalu banyak memikirkan dia, sebagian juga karena aku mungkin ingin membalas kebaikan mereka yang sudah merestui pernikahanku dengannya.

Yang penting, aku ada disini dan seminggu lagi aku akan menikah dengannya. Hanya itu. Kopi kuhabiskan dan aku kembali masuk ke dalam rumah, menyalakan komputerku dan mengakses internet untuk melihat e-mail yang masuk. Bahkan sebelum pernikahan dilaksanakan, beberapa ‘teman’ ku sudah memberi ucapan selamat. Beberapa dari mereka sampai menghias e-mail mereka itu, seolah-olah e-mail itu semacam kartu ucapan selamat yang sering aku dapatkan saat lebaran atau tahun baru. Aku tak pernah, sekalipun tak pernah, bisa mengerti apa maksud mereka bersusah-susah membuatnya begitu, kalau nantinya akan kuhapus juga?

Seselesainya mengecek e-mail, aku kembali mematikan komputerku dan mengambil hp-ku, dan kemudian pergi ke halaman rumah. Entah mengapa. Mungkin aku hanya ingin sekedar cari angin saja? Ini masih pagi, dan udara di dalam rumah juga sejuk, jadi tidak, bukan untuk itu. Apa karena aku kesepian, di rumah sendirian? Tidak, semestinya aku pergi keluar kalau begitu, atau menghubungi dia. Jadi kenapa?

Insting kah?

Dorongan kah?

Firasat kah?

Mungkin firasat. Mungkin, tapi aku tak bisa memastikan. Firasat bukanlah sesuatu yang bisa ditebak, meskipun sering terjadi. Bukan juga sesuatu yang bisa dirasakan dengan mudah, meskipun merupakan hal yang wajar bila merasakannya. Hanya saja, firasat yang kurasakan terasa aneh. Mungkin ini firasat buruk, tapi tidak pernah seberat dan sekelam ini. Tiba-tiba saja suasana hatiku berganti menjadi kelabu.

Aku semakin merasa aneh. Hatiku mulai terasa seperti tersayat tanpa ada apa-apa. Apa terjadi sesuatu? Tidak, aku tidak boleh memikirkan hal seperti itu. Tidak boleh, tidak boleh sekalipun. Tapi apa, kalau begitu? Apa? Ah, sudahi saja lamunan tak penting seperti ini. Aku kembali masuk ke dalam rumah, tapi perasaanku malah bertambah gelisah. Tanpa sadar aku mondar-mandir kesana kemari, seperti orang yang kurang kerjaan.

Mungkin aku harus menghubunginya sekarang, sekedar bercakap-cakap, mengobrol untuk mengenyahkan firasat tidak enak ini dari pikiranku. Aku segera merogoh HP dari saku celanaku, tapi belum juga disentuh, HP itu sudah berbunyi.

Ada telepon?

“Halo, San?”

“Ini siapa?”

“I-ini.. ini aku, Cecil, a-adik Jessica!”

“Ada apa? Apa ada sesuatu?”

Nada suara Cecil di telepon jelas-jelas terdengar panik. Mendadak, firasat itu makin mencengkram dadaku dan jantungku berdegup kencang. Sangat kencang.

“I-ini.. ini gawat, San!! Je-jes-jessica..”

“Ada apa dengan Jess? Kenapa suaramu terdengar panik begitu??”

“Di-dia…”

Semua yang ada di sekelilingku terasa hilang, terserap dalam kegelapan. HP-ku jatuh dengan begitu saja saat aku termenung, tidak percaya apa yang terjadi. Perlahan-lahan, air mata menetes dari mataku sebelum akhirnya mengalir deras. Aku terduduk lemas, dan meratap. Ratapan yang makin merobek-robek hatiku, menjadi kepingan-kepingan yang berserakan dan takkan pernah bisa kuambil dan kususun kembali.

“Jess.. Jessica…”

<><><><><><><><><><><>

Sudah tiga hari. Tiga hari, ya, tiga hari sejak kematiannya karena kecelakaan mobil yang naas itu. Dan dalam tiga hari itu pula, aku hanya meringkuk di kamarku saja, tanpa melakukan apa-apa lagi. Potret dirinya masih tergenggam di tanganku, selama tiga hari pula. Dan aku tidak makan ataupun minum, tidak mandi dan tidak melakukan apapun, selama tiga hari pula.

Orang bilang aku gila. Orang lain bilang aku hanya merasakan shock, dan mereka juga bilang bahwa beberapa hari lagi aku akan pulih, dengan kesoktahuan mereka. Ada juga yang bilang aku butuh hiburan, bahwa aku terlalu bergantung padanya. Tahu apa mereka? Semuanya salah, salah, salah besar. Beberapa ‘teman’ ku mulai menjauh. Ada juga yang kasihan, merasa iba padaku, seolah-olah aku ini seorang tunawisma yang sudah beberapa hari tidak makan.

Mereka semua salah. Salah besar. Aku benar-benar sadar, aku tidak shock, aku tidak butuh hiburan. Aku hanya terobsesi. Terobsesi padanya. Sungguh aneh, seorang pemikir yang rasional sepertiku bisa dengan mudah terpuruk pada keadaan seperti ini. Tapi kalau kau merasakan hal yang sama sepertiku, kau takkan lagi menganggapnya aneh.

Aku masih meringkuk. Fotonya, potret dirinya yang kusimpan sudah kusut karena terus kupegang dengan tangan yang dipenuhi keringat. Keringat dingin. Senyumannya, wajahnya, gerak-gerik dan tingkah lakunya masih terbayang dengan jelas, sangat jelas bagiku. Aku jadi berpikir, apa yang akan dia katakan melihatku seperti ini? Mungkin seperti “Wajahmu berantakan banget” atau “Aduh, kenapa kamu gitu sih” atau semacam itulah. Sebuah senyuman kecil hinggap di bibirku, namun itu semua bak cahaya lilin yang meredup.

Air mata kembali keluar dari mataku. Aku tak bisa lagi menahan penderitaan ini. Hatiku serasa hilang, menghilang, hancur berkeping-keping tanpa sisa. Tapi, saat aku menghapus air mataku, mendadak ia sudah muncul kembali. Muncul, muncul di sana, di depanku dengan sebuah senyuman tulus yang hanya miliknya seorang.

“Jessica? Jess? Itu.. kamu? Tidak mungkin..”

Dia hanya membalas dengan mengangguk seyakin-yakinnya.

<><><><><><><><><><><>

Dalam beberapa hari yang berlalu sesudahnya, hidupku kembali berjalan seperti biasa bersamanya. Kami berencana untuk menikah, tapi hanya setelah aku menyelesaikan kuliahku. Dia bilang aku terlalu terburu-buru, dan aku menuruti saja apa perkataannya. Kulalui hari-hari dengan penuh semangat, seakan untuk membayar hari-hari kelamku saat kuanggap dia meninggal. Dia memang masih hidup, masih hidup, dan sekarang tinggal bersamaku.

Namun, kurasakan perubahan pada orang-orang di sekelilingku. Banyak dari mereka yang menjauhiku, ada yang menganggap aku lebih gila dari sebelumnya, dan bahkan orang tuaku pun hanya geleng-geleng kepala seolah tidak mengerti apa yang kupikirkan. Ada apa ini? Bukankah dia memang masih hidup? Mungkin mereka hanya tidak percaya saja. Kusimpan itu baik-baik dalam hati.

Seperti biasanya, mereka hanya berkata hal-hal yang aneh dan omong kosong, nonsense bagiku. Mereka bilang aku harus pergi ke psikiater? Tidak bisa! Aku ini normal! Tapi dia tetap sabar, untungnya. Sabar dan tetap percaya padaku, meskipun begitu ia tetap membujukku untuk pergi ke psikiater karena katanya, “Kamu harus buktikan sendiri pada mereka”, dan tentu saja aku menurutinya.

Tapi, psikiater yang katanya terkenal itu pun tak percaya padaku. Aneh sekali. Mungkin dia hanya terkenal namanya saja, aku tidak tahu. Yang jelas, dia tidak percaya padaku, dan bahkan menyarankan agar aku mencari perempuan lain. Apa? Apa dia sudah gila? Aku tidak ingin melakukan poligami! Dan dia pun tidak akan senang kalau aku melakukannya.

Sudahlah, mendengarkan orang-orang bodoh ini berbicara dengan omong kosong mereka tidak ada gunanya. Aku langsung bergegas menuju rumahnya sepulangnya dari psikiater. Dia bilang tadi dia menungguku di rumahnya. Maka, kulakukan apa yang semua orang normal lakukan. Sesampainya di rumahnya, kupencet bel. Cecil rupanya yang membuka pintu untukku. Aku langsung menyampaikan maksudku dengan jelas.

“Cil, ada Jessica?”

“Apa maksudmu?”

“Jess. Jessica. Dia ada di sini kan?”

“Di sini? Kamu sudah gila?”

“Tidak. Aku waras, sangat waras, sewaras-warasnya orang.”

“Jangan bodoh! Dia kan sudah-“

“Sudah apa? Dia masih hidup kan? Masih sehat?”

“Dia.. dia sudah mati!!! Kau dengar itu? Mati! Jangan membohongi dirimu sendiri, San, dia sudah tiada! Jangan berkhayal seakan-akan dia ada! Apa kamu gila?”

Dunia yang aku tahu kembali menghilang, tertelan dalam kegelapan. Aku masih berusaha membantah, aku tahu aku benar.

“Mustahil.. dia masih hidup kan? Dia masih hidup kan? Itu fakta.. dia masih hidup. Dia masih hidup. DIA MASIH HIDUP!!”

“Jangan bercanda!! Dia sudah lama tiada! Jangan mengharapkan orang yang sudah tidak mungkin kau dapatkan! Jangan lari dari kenyataan, San! Itu hanya ilusi, ilusi belaka, bukan fakta!”

“Ta-tapi… di-di-dia masih bicara denganku tadi.. dia masih ada di sampingku tadi pagi.. dia.. dia..”

“Jangan bodoh! Itu cuma khayalanmu saja! Itu cuma ilusimu!”

“Tapi. Cecil.. dia.. Jess. Jessica..”

“San, sadar! Dia sudah mati! DIA SUDAH MATI!”

“Di.. dia.. AAAAAAAAAH!! AAAAAAAAAAAAAAAAHHHH!! AAAAAAAH!!!”

Dunia di sekelilingku hancur. Aku sudah kehilangan segala rasa rasionalitas, pikiran dan perasaanku. Hatiku yang sempat muncul kembali termakan oleh kesedihan mendalam dan rasa galau yang menusuk tubuhku layaknya seribu anak panah yang ditembakkan bersama-sama. Semua hilang. Kekacauan mulai menguasai pikiranku dan mengendalikannya. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan sekarang. Aku langsung berlari, meninggalkan Cecil disana sendiri.

Berlari. Berlari dan berlari, mencoba lari dari kenyataan. Kenyataan yang sudah jahat padaku, merebut sesuatu dariku tanpa minta persetujuan terlebih dahulu. Aku terus berlari, berlari dan berlari, seolah berkejaran dengan kenyataan pahit itu. Sampai akhirnya aku tiba di sebuah jembatan dan berhenti, sesudah yakin kenyataan itu takkan bisa mengejarku lagi.

Aku mencoba beristirahat karena kelelahan sesudah berlari, dan berdiri di pinggir jembatan, dengan kedua tangan menggenggam pembatas jembatan. Akhirnya aku berhasil lari dari kenyataan. Tapi aku tahu, aku tak bisa lari selamanya. Aku berpikir, memikirkan caranya untuk bisa lari dari kenyataan terkutuk ini.

Tiba-tiba, aku melihat sebuah sosok perempuan di bawah jembatan.

Sosok yang kukenal, amat kukenal.

Jessica.

Menyadarinya, aku berusaha meraihnya. Tangannya terangkat ke atas, dan aku tahu apa yang harus kulakukan.

Melompat.

-SELESAI-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun