Mohon tunggu...
niqi carrera
niqi carrera Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Sebagai ibu, ikut prihatin dan resah dengan kondisi sekitar yang kadang memberi kabar tidak baik. Dengan tulisan sekedar memberi sumbangsih opini dan solusi bangsa ini agar lebih baik ke depan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pajak Semakin Memberatkan, tapi Minim Manfaat?

8 Januari 2023   00:47 Diperbarui: 8 Januari 2023   01:07 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pajak penghasilan (PPh) yang dikenakan terhadap gaji karyawan telah diatur dalam Undang-Undang no. 36 Tahun 2008. Kini aturan tersebut diperbaharui dalam UU Harmonisasi Perpajakan (HPP), sehingga lapisan tarif penghasilan kena pajak ditingkatkan menjadi 60 juta dari awalnya 50 juta per tahun. Yang berarti untuk orang yang memiliki pendapatan lima juta perbulan, akan dikenakan pajak.
Pemerintah mengklaim aturan tersebut diperbaharui bertujuan agar lebih adil.Dengan penyesuaian ini masyarakat kelas menengah ke bawah diberi beban pajaknya yang lebih rendah. Rakyat yang berpendapatan kecil dilindungi, sementara yang kaya dituntut untuk berkontribusi lebih.


Maksudnya rakyat tidak dibebani tarif pajak yang sama untuk semua orang. Untuk yang berpenghasilan Rp5 juta perbulan dikenakan tarif PPh lima persen, dan berlapis hingga lima tingkat. PPh tertinggi sebesar 30 persen untuk pendapatan di atas Rp5 miliar/tahun.


Apakah klaim pemerintah sudah tepat?


Rakyat kecil umumnya taat membayar pajak, karena mereka tak akan sanggup membayar ancaman denda jika terlambat membayar pajak. Sementara rakyat juga ingin mendapatkan 'fasilitas' karena sudah rutin membayar pajak.


Kita tengok beberapa negara dengan tarif pajak tinggi, tapi mampu memberikan layanan memuaskan menurut warganya. Antara lain Denmark yang memberi layanan kesehatan gratis, Jerman memberikan layanan pendidikan hingga tingkat Universitas secara cuma-cuma.


Sementara Qatar tak memungut harga sepeserpun untuk layanan listrik, air, dan biaya telepon, Lithuania juga memberikan internet gratis, bahkan Finlandia menyediakan rumah gratis bagi tunawisma, dan masih banyak lagi negara lain yang memberikan fasilitas lebih layak pada warganya.


Dibandingkan dengan Indonesia, dengan pajak yang diambil dari banyak sumber, rakyat merasa minim merasakan layanan negara dari hasil ketaatan membayar pajak.
Sebut saja untuk mendapat layanan kesehatan gratis, maka rakyat masih harus membayar iuran BPJS tiap bulan. Untuk sekedar lewat jalan tol juga masih membayar harga mahal. Pendidikan hanya gratis hingga level sekolah menengah, untuk universitas biayanya tak terjangkau bagi rakyat kecil. Tarif listrik terus mengalami kenaikan dengan biaya yang memberatkan.


Rakyat semakin galau dengan adanya informasi PPh untuk gaji Rp5 juta, lantaran untuk biaya hidup hari ini serba mahal tentunya gaji lima juta masih pas-pasan, apalagi jika tinggal di kota besar.


Pajak sebagai sumber utama


Tak bisa dipungkiri bahwa pajak dalam sistem demokrasi adalah sumber utama pendapatan negara. Negara akan terus mencari legalitas sumber baru untuk menambahnya,meskipun pungutan pajak pada rakyat akan membratkan kehidupan mereka.
Tak hanya di Indonesia, di luar negripun banyak warga protes karena tarif pajaknya yang terlalu tinggi. Banyak negara-negara yang pajaknya 40 persen, bahkan ada yang 60 persen. Wajar jika pajaknya tinggi karena mindsetnya pajak adalah sumber pemasukan utama negara dengan model kapitalis demokrasi.


Apalagi negara yang menganut kapitalisme, hasil kekayaan alam legal dimiliki oleh swasta. Sehingga pemasukan negara dari sektor SDA akan minimal, karena bisa diambil alih asing. Padahal SDA yang dimiliki Indonesia seperti emas, batubara, minyak bumi, dan lain-lain jumlahnya sangat berlmpah. Bahkan lebih dari cukup untuk menggantikan pajak sebagai pemasukan utama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun