Sebuah pencapaian yang sangat mengkhawatirkan. Dan lagi, hal tersebut bisa dilihat dari gaya hidup bangsa ini ratusan tahun lalu. Dalam beberapa kuliah yang saya hadiri, saya mendapat insight baru bahwasannya kultur Bangsa Indonesia bukanlah membaca dan menulis melainkan mendengar dan berbicara alias tradisi lisan.Â
Tradisi lisan menjadi suatu kultur tersendiri yang juga memiliki dampak negatif kedepannya, yakni kemunduran budaya membaca dan menulis. Sementara, membaca dan menulis selalu meliputi kehidupan aristokrat atau elite priyayi yang membedakan relasi antar kelas sipil dan penguasa.Â
Secara tidak langsung, kenyamanan tradisi lisan menciptakan Masyarakat Indonesia yang enggan berliterasi, sementara dasar keilmuan dapat diperoleh melalui buku maupun literatur. Jika begini, bagaimana kita memperbaiki masyarakat dan membawanya menuju Renaisans?
      Masyarakat Renaisans mendobrak pencerahan diawali dengan berliterasi dan memahami bahwa Rasionalisme dan Sekularisme menjadi poin penting dalam membentuk pemerintahan dan kehidupan yang lebih baik. Apa yang dimaksud Rasionalisme merupakan gagasan bahwa setiap hal selalu berjalan berdasarkan atas rasio atau akal, sementara Sekularisme merupakan gagasan yang memisahkan kehidupan duniawi dengan kehidupan rohani.Â
Dua hal yang bertentangan dengan gaya hidup abad pertengahan di Eropa Barat yang kental akan logika mistis dan kuasa agama atas suatu pemerintahan. Eropa Barat bisa mencapai pencerahan dan kemajuan dengan meninggalkan aspek-aspek ini. Ia menyerap segala pengetahuan yang lahir dari Yunani Kuno maupun dinasti-dinasti Muslim di Umayyah dan Abbasiyah dan mengembangkan tradisi keilmuan yang mantap.Â
Ironisnya, dunia Muslim yang banyak menginspirasi dan memantik Renaisans bagi Eropa Barat justru mengalami ketertinggalan seusai persekutuan antara Sultan dan Ulama memantapkan hegemoni kelas penguasa yang menghambat perkembangan kelas intelektual dan pedagang.
      Di sisi lain, Indonesia masih bersifat seperti abad pertengahan Eropa Barat, menjadikan negeri ini masih dalam kekangan kegelapan yang irasional dan konservatif. Saya akan mencoba menggarisbawahi logika mistis yang terkenal di masa kegelapan, yang kini pengaruhnya tercermin di kalangan kelompok kecil Masyarakat Indonesia, kebanyakan dari golongan Sufi dan Kejawen.Â
Tan Malaka, salah seorang pahlawan nasional, dalam bukunya yang berjudul Madilog, menegaskan bahwa salah satu penghambat kemajuan di Indonesia adalah logika mistis. Yang dimaksud dengan logika mistis adalah kepercayaan terhadap hal-hal irasional seperti percaya jimat-jimat tertentu yang dianggap sakti maupun sosok tak kasat mata yang dianggap sepuh.Â
Ibaratnya, dunia sudah berfokus untuk mengembangkan teknologi namun kelompok masyarakat ini masih berkutat pada hal-hal irasional yang tidak dijangkau oleh akal. Sangat disayangkan, Indonesia masih memiliki cukup banyak kepercayaan logika mistis di kalangan masyarakatnya, yang saya anggap tidak hanya menghambat kemajuan nasional dalam membangun negeri, tapi juga menjadi beban bagi lingkungan sekitarnya. Oleh karenanya, sudah saatnya Indonesia meninggalkan kebudayaan kolot seperti ini seperti yang tercermin dalam salah satu lirik Internationale: "Lupakan Adat dan Paham Tua, Kita Rakyat Sadar, Sadar".
      Lingkungan agamis yang tidak taat, merupakan nama yang saya sematkan bagi Masyarakat Indonesia yang sangat memuji tuhan. Tentunya saya bukan seorang ateis, karena dalam meraih kemajuan tidak perlu menjadi sosok yang menentang tuhan. Namun, saya mengkritik masyarakat kita yang agamis di satu sisi namun juga mempermainkan agama di sisi yang lain.Â
Karena cukup banyak kasus di media sosial yang menunjukkan bahwa agama khususnya Islam bisa menjadi alat pemersatu. Ironisnya, banyak pembela Islam di Indonesia yang tidak mempraktikkan ajaran Islam. Beberapa menggunakan cara-cara radikal yang mengganggu ketenteraman, yang lainnya sekedar membela tanpa mengerti dan tak mau berubah menjadi sosok yang taat.Â