Menjelang kemerdekaan Indonesia yang ke-79, timbul kekhawatiran di pikiran dan rasa sinis terhadap nasib bangsa besar ini dalam hal-hal kemajuan. Sudah dua kali saya menulis artikel mengenai masa-masa kegelapan yang meliputi Indonesia per hari ini, dan dari sana muncul satu konklusi; Renaisans di Eropa Barat tidak akan terjadi di Indonesia.Â
Hal ini didasari atas mimpi besar bangsa Eropa Barat yang hendak meraih kejayaan di dua masa sebelumnya yakni, Yunani Kuno yang mengajarkan dasar keilmuan dan Romawi Kuno yang melandasi imperialisme demi superioritas. Sementara Indonesia hanya akan kembali pada Feodalisme dan Glorifikasi yang mengutuk negeri ini untuk ratusan tahun jauh sebelum Republik dideklarasikan.
      Namun, mungkinkah Renaisans lahir di Indonesia? Mimpi itu selalu menghantui pikiran saya sebagai sebuah pencerahan yang remang-remang. Jika melihat realitas sosial, mencapai Renaisans tampak sangat mustahil. Keengganan berliterasi, kepercayaan terhadap logika mistis, religius yang tidak taat, hingga pembunuhan Demokrasi menjadi salah empat dari sekian banyak kondisi sosial di hari ini yang menyatakan bahwa Indonesia belum dan tidak akan mencapai transisi menuju modernitas yang benar-benar termajukan. Meski begitu, saya masih memiliki mimpi untuk menggiring negeri ini menuju modernitas layaknya negeri-negeri di Eropa Barat. Karenanya tulisan ini hadir dan harapannya mampu mendekonstruksi pikiran pembaca sekalian untuk bersama mewujudkan Renaisans.
Dark Ages in Indonesia
      Selama ratusan tahun, Nusantara hidup dalam masyarakat yang kental akan Feodalisme dan Glorifikasi. Bahkan sebelum VOC memantapkan kongsi dagangnya di Batavia dan memulai dominasi ekonomi, bangsa kita yang beraneka ragam telah mempraktikan Feodalisme melalui hubungan Patron-Klien.Â
Bahkan, narasi yang Susan Blackburn sajikan dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun, menyatakan bahwa sedikit banyak praktik yang VOC lakukan dalam mengurus warga Batavia dan Ommelanden menggunakan cara-cara feodal Bumiputera Jawa di Mataram dan Sunda di Banten, seperti perdagangan budak. Â Di momen ini, muncul sebuah perkawinan dua pikiran yakni Feodalisme dan Kolonialisme.
      Sebagai seorang pengamat sejarah nasional, saya tidak menyalahkan Belanda secara penuh melainkan juga menyalahkan pejabat bumiputera yang melanggengkan perkawinan dua pikiran. Hal ini menyebabkan Bangsa Indonesia selalu terjerat dalam kemunduran alam pikiran karena praktik masa lalu menunjukkan bahwa kita ini Oportunis dan haus akan Glorifikasi.Â
Kehadiran politik etis yang menawarkan pendidikan bagi bumiputera menjadi secercah harapan baru. Munculnya kaum terpelajar yang progresif dengan pelbagai ideologi yang berbeda-beda menjadi sebuah gebrakan baru dalam memajukan Bangsa Indonesia yang harus terbebas dari belenggu Kolonialisme.Â
Namun, tokoh-tokoh pergerakan seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, Thamrin, Soetomo, dan lainnya hanyalah sedikit dari jutaan masyarakat bumiputera yang telah tercerahkan. Mereka semua mengakses pendidikan, membaca buku, dan berpolitik tidak lain berkat akses gelar kepriyayiannya. Sehingga, masyarakat Konservatif dan Feodal akan terus hidup dan hanya  mengikuti kehendaknya sendiri atau kehendak para tokoh pergerakan yang mereka anggap sebagai pemimpin.
      Kegiatan berliterasi seperti membaca buku juga menjadi salah satu aspek yang mendorong Renaisans, namun tampaknya hari ini kita masih berada di peringkat yang mengkhawatirkan perihal literasi. Melalui data Emedia DPR RI, Indonesia mencapai skor 359 untuk hal literasi dan menduduki peringkat 70 dari 80 negara.Â