Menuju Pilpres 2024: Kontes(aksi) Dahulu, Kontestasi Kemudian
Hari ini adalah satu tahun jelang masa pendaftaran pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu pemilihan presiden 2024 yakni sesuai sesuai aturan KPU jadwal pendaftaran paslon capres-cawapres akan dibuka pada tanggal 19 Oktober 2023. Aksi tebar pesona hingga aktivitas politik sejumlah nama kuat bakal Capres 2024 semakin marak di media massa mainstream dan media sosial. Bahkan tak jarang ajang pencitraan mereka lakukan dengan memanfaatkan waktu kegiatan resmi sesuai kapasitasnya sebagai pejabat publik.
Hasil survei terbaru lembaga CSIS Indonesia merilis elektabilitas figur calon presiden jelang Pilpres 2024, peringkat kandidat tidak jauh berbeda dengan beberapa lembaga survei lainnya. Nama Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan masih menempati posisi teratas. Disusul di papan tengah yakni Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Andika Perkasa dan Erick Thohir. Sementara tak pernah beranjak di posisi bawah seperti Khofifah Indar Parawansa, Puan Maharani, Airlangga Hartarto dan Muhaimin Iskandar. Survei dilakukan di 34 provinsi pada tanggal 8 hingga 13 Agustus 2022 dengan populasi survei penduduk Indonesia berusia 17 sampai 39 tahun.
Tak hanya tiga nama figur politik dengan tingkat elektabilitas tertinggi versi sejumlah lembaga survei yakni Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, safari politik guna mendulang popularitas juga dilakukan oleh sejumlah petinggi parpol seperti Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua DPP PDI Perjuangan yang juga ketua DPR Puan Maharani.
Ibarat paribahasa, berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang senang kemudian, namun tidak dengan aksi blusukan dan tebar citra yang belakangan sering dilakukan oleh sejumlah bakal kandidat calon presiden 2024 yakni justru kontes(aksi) dahulu, kontestasi kemudian. Pemandangan penampilan mereka di media massa mainstream maupun media sosial justru yang tersirat adalah bersenang senang dahulu melalui sejumlah aksinya baru bersakit-sakit kemudian yakni pada saat genderang konstestasi pilpres sudah resmi ditabuh (dibuka).
Fenomena lain juga terjadi di kalangan figur yang masuk papan menengah dan papan bawah elektabilitas Capres 2024. Entah sadar atau tidak, mereka justru mengaktualisasikan jati dirinya sebagai pribadi yang berambisi untuk memperoleh dukungan publik dan dengan tujuan meraih simpati dari masyarakat atau komunitas yang didatanginya. Nampaknya manajemen komunikasi politik sangat dioptimalkan oleh para figur politik dan pejabat publik saat blusukan atau menemui basis atau komunitas calon pendukungnya.
Menurut Yusuf & Ridwan dalam Dedi Sahputra (2020) Inti dari komunikasi adalah menekankan manajemen komunikasi yang mengacu pada terciptanya dialog dua arah sekaligus melahirkan pertukaran informasi dari sebuah komunikasi. Terbukti selain untuk menunjang kegiatan sehari-hari, komunikasi politik mulai dilakukan sejumlah nama kandidat untuk berdialog dengan masyarakat.
Media Sosial: “Strategi dan Cara Singkat” Dongkrak Popularitas bukan Elektabilitas
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada saat ini media sosial telah menjadi cara jitu, praktis bahkan murah bagi masyarakat dalam berkomunikasi. Kehadiran media sosial telah membawa dampak yang sangat signifikan dalam cara melakukan komunikasi. Banyaknya jumlah pengguna media sosial di Indonesia tak ayal merupakan keuntungan yang luar biasa dan menjadi kesempatan tersendiri dalam mengoptimalkan fungsi media sosial sebagai media komunikasi para kandidat jelang pemilihan presiden 2024.
Lembaga We Are Social dalam Nasrullah (2015) mempublikasikan hasil risetnya bahwa pengguna internet dan media sosial di Indonesia cukup tinggi. Ada sekitar 15 persen penetrasi internet atau 38 juta lebih pengguna internet. Dari jumlah total penduduk, ada sekitar 62 juta orang yang terdaftar serta memiliki akun di media sosial facebook. Riset tersebut juga menunjukkan bahwa rata rata pengguna internet di Indonesia menghabiskan waktu hamper 3 jam untuk terkoneksi dan berselancar di media sosial melalui perangkat telepon genggam. Potensi inilah yang getol dimanfaatkan oleh sejumlah kandidat bakal capres-cawapres guna mendulang popularitas di dunia maya ( seluruh platform media social). Aksi mereka di media social selalu menarik publik tak terkecuali bagi generasi pemilih muda.
Sebuah penelitian disertasi yang dilakukan pakar politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menunjukkan aktivitas media sosial tidak signifikan terhadap peningkatan elektabilitas. Artinya berdialetika dan beretorika di media sosial tidak menjamin akan meningkatkan elektabilitas, meski bisa lebih populer. Terbukti dari hasil sejumlah lembaga survei, figur yang memiliki follower banyak di media sosial masih menduduki papan tengah tingkat elektabilitasnya. Sepuluh nama besar figur poltik yang disebut memiliki kans pada pilpres 2024 mendatang, semua telah memiliki akun media sosial dengan perbandingan follower yang beragam baik di akun instagram, facebook dan twitter.
Di platform media sosial Instagram misalnya, pada minggu ini empat nama dengan pengikut yaitu Ridwan Kamil 19,2 juta followers, Sandiaga Uno 8,5 Juta, Anies Baswedan 5,8 juta dan Prabowo Subianto 5,1 juta. Kemudian disusul Ganjar Pranowo 5,2 Juta, Agus Harimurti Yudhoyono 5,3 Juta, Muhaimin Iskandar 2,4 juta, Erick Thohir 2, 3 juta, Puan Maharani 1,6 juta dan Andika Perkasa 13,1 ribu follower. Dari rangking jumlah follower para kandidat tersebut, yang selalu masuk dalam survei elektabilitas tiga besar adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subiyanto dan Anies Baswedan yang ketiganya memiliki jumlah follower jauh dibawah Ridwan Kamil dan Sandiaga Uno.
Drama Politik Anies & Jokowi “Hampir Serupa Tapi Tak Sama”
Ingat dengan teori klasik Dramaturgi (Goffman, 1959) yakni sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Situasi dramatik yang seolah-olah terjadi di atas panggung sebagai ilustrasi untuk menggambarkan individu-individu dan interaksi yang dilakukan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Berkaca dari pilpres sebelumnya (2014 & 2019), teori dramaturgi terbukti sangat ampuh dalam meraih simpati dan dukungan dari publik. Para kandidat ibarat memainkan sebuah pertunjukkan di panggung baik panggung depan (front stage) dan belakang pagung (back stage).
Jika diamati ada kemiripan alur drama yang dijalani oleh Anies Baswedan menatap piplres 2024 dan yang dialami oleh Joko Widodo pada saat pilpres 2014 silam. Tahapan menuju Istana antara Anies dan Jokowi sama sama berangkat Kebon Sirih alias sebagai Gubernur DKI Jakarta. Bahkan jika ditarik mundur kebelakang pada pilkada DKI 2012 silam, ada peran Prabowo Subianto dibalik kisah sukses Jokowi menduduki singgasana Balaikota, hal tersebut juga terjadi pada Anies Baswedan yang juga mendapat amanah dan mandat dari Prabowo Subianto untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta 2017 silam. Kesamaan lain adalah pada pilpres 2019 silam, Joko Widodo dicalonkan lebih awal sebagai capres oleh Partai Nasdem. Pun dengan pencapresan Anies Baswedan yang juga dicalonkan oleh Partai Nasdem lebih awal yakni pada 3 Oktober 2022 lalu.
Adakah Anies Effect, Untung Rugi bagi Parpol Pengusung?
Namun apakah fenomena Jokowi Effect akan dialami juga oleh Anies Baswedan (Anies Effect). Tentu harapan inilah yang diinginkan oleh Partai Nasdem dalam mengusung sejak awal Anies Baswedan sebagai Capres 2024. Kondisi dan realita politik hari ini, berbeda dengan pada saat munculnya fenomena Jokowi effect.
Butuh kerja keras untuk mewujudkan Anies Effect agar bisa sedahsyat fenomena Jokowi Effect agar bisa berdampak sangat nyata bagi popularitas dan elektabilitas parpol pengusung Anies Baswedan yakni Partai Nasdem. Namun bukan hal yang tidak mungkin, mengingat kepiawaian sang King Maker Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang patut diakui sangat menentukan barometer poltik tanah air setidaknya dalam 15 tahun terakhir.
Tentu sudah dipertimbangkan dengan sangat matang oleh Surya Paloh dalam mencalonkan Anies Baswedan sebagai Capres 2024. Setidaknya munculnya nama Anies Baswedan sebagai capres pilihan partai Nasdem telah melalui proses demokratisasi yang sangat luar biasa dari usulan kader partai Nasdem di seluruh Indonesia sebagai manivestasi suara rakyat yang terwakili melalui partai Nasdem.
Usai Anies paripurna sebagai Gubernur DKI Jakarta (16 Oktober 2022), partai Nasdem harus langsung bekerja (tancap Gaspol) untuk mengokohkan dan membumikan politik gagasan kebangsaan yang selama ini disuarakan partai Nasdem. Termasuk dalam menyelaraskan arah politik Anies Baswedan sehingga bisa memberikan efek elektoral di masyarakat.
Hal ini berarti pengukuhan citra Anies adalah partai Nasdem dan Partai Nasdem adalah Anies menjadi sangat urgen dan penting untuk mendapatkan efek domino (efek ekor jas) semakin besar buat partai Nasdem. Namun patut diwaspadai jika partai Nasdem gagal dalam meleburkan identitas politik Anies dengan politik gagasan besar partai, maka dikhawatirkan tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan elektoral partai Nasdem di akar rumput kader maupun masyarakat atau bahkan bisa berdampak buruk terhadap tingkat elektabilitas partai Nasdem.
Ferdi Setiawan, S.TP
Mahasiswa S2 Magister Ilmu Komunikasi Politik Universitas Paramadina
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H