bola Zambia jatuh ke Samudra Atlantik. Tidak ada yang selamat. Seluruh penumpang yang berjumlah 30 orang, termasuk para pemain, pelatih, dan staf, kehilangan nyawa mereka. Berita ini menghancurkan hati seluruh rakyat Zambia.
Bayangkan ini: sebuah pagi yang tenang di tepi pantai Gabon berubah menjadi tragedi yang mengguncang jiwa. Pada 28 April 1993, sebuah pesawat yang membawa tim nasional sepakNamun, kisah ini bukan hanya tentang duka mendalam. Ini adalah cerita tentang bagaimana sebuah bangsa bangkit dari abu kesedihan untuk menulis babak baru penuh keajaiban dalam sejarahnya.
Tim Hebat yang Hilang
Tim nasional Zambia, yang dikenal sebagai Chipolopolo atau "Peluru Tembaga," adalah kebanggaan bangsa. Di tengah masa-masa sulit, mereka membawa harapan dan kegembiraan bagi rakyat Zambia. Rekam jejak mereka luar biasa: delapan tahun tanpa kekalahan di kandang dan kemenangan gemilang 3-0 melawan Mauritius menjadi bukti ketangguhan mereka.
Namun, perjalanan mereka ke Senegal untuk pertandingan kualifikasi Piala Dunia 1994 berubah menjadi malapetaka. Pesawat militer tua yang mereka tumpangi mengalami kerusakan mesin. Pilot, yang kelelahan, membuat kesalahan fatal, dan pesawat itu terjun ke laut, meninggalkan kehampaan yang tak terperi di hati rakyat Zambia.
Kalusha Bwalya: Bertahan di Tengah Kehilangan
Salah satu pemain terbaik Zambia, Kalusha Bwalya, selamat dari tragedi itu hanya karena ia bermain untuk klub di Belanda dan bepergian secara terpisah. Ketika kabar duka itu sampai kepadanya, dunia seolah runtuh. "Ini seperti mimpi buruk yang tak berujung," katanya dengan suara penuh duka.Beberapa hari kemudian, lebih dari 100.000 orang berkumpul di Stadion Independence untuk memberikan penghormatan terakhir. Pemakaman massal yang penuh haru itu diadakan di Heroes' Acre, tempat peristirahatan abadi para pahlawan ini. Tapi waktu tidak berhenti, dan Zambia harus melanjutkan hidup meski hati mereka terluka.
Tim Baru, Harapan Baru
Presiden Zambia mengangkat Bwalya sebagai pusat dari kebangkitan tim nasional. Dalam waktu singkat, lusinan pemain diuji coba untuk membangun kembali skuad. Dengan semangat dan kerja keras, terbentuklah tim baru yang segera menjalani pelatihan di Denmark.
Pada 4 Juli 1993, tim ini melakoni pertandingan kualifikasi Piala Dunia melawan Maroko. Dengan semangat yang membara, Zambia menang 2-1, berkat gol menakjubkan dari Kalusha Bwalya. Meski mereka gagal lolos ke Piala Dunia, perjalanan mereka di Piala Afrika 1994 membawa mereka ke final, di mana mereka hanya kalah tipis dari Nigeria.
Keajaiban di Libreville
Hampir dua dekade kemudian, pada Piala Afrika 2012, Zambia kembali mencuri perhatian dunia. Mereka melaju ke final, meski banyak yang meragukan kemampuan mereka. Yang membuat kisah ini semakin emosional, final tersebut diadakan di Libreville, Gabon --- tidak jauh dari lokasi kecelakaan tragis pada 1993.
Beberapa hari sebelum pertandingan, tim Zambia mengunjungi lokasi kecelakaan untuk memberi penghormatan. "Kami bermain untuk mereka yang telah pergi," ujar kapten tim, Chris Katongo, dengan penuh keyakinan.