"Memaafkan bukan karena mereka pantas untuk diampuni, tapi karena engkau pantas mendapatkan kedamaian."
Malam itu saya kedatangan seorang klien dalam sesi konseling. Sebelumnya ia mengirimkan pesan singkat yang isinya menjelaskan bahwa saat ini sedang mengalami kecemasan tanpa sebab.
Hampir setiap hari kecemasan tersebut muncul dan sangat mengganggu aktivitas baik ditempat kerja ataupun dirumah. Saat kecemasannya kambuh, sang klien merasa sangat tidak nyaman hingga mempengaruhi fisiknya.
Seperti biasa dalam sesi konseling, saya lebih banyak menggali akar masalah klien untuk memahami kasus yang dihadapi. Sebagai informasi bahwa dalam proses hipnoterapi yang saya tekuni, sesi konseling sangatlah penting.Â
Selama lebih kurang 30-60 menit saya memberikan kesempatan kepada klien untuk bercerita tentang segala hal yang dirasakan, didengar dan dilihat. Sambil sesekali saya mengarahkan klien agar tidak keluar dari topik dan sesi berjalan secara efektif.
Sebut saja namanya mbak Indri, seorang wanita paruh baya berusia sekitar 40 tahunan yang saat ini bekerja sebagai staff admin di salah satu perusahaan consumer good.
Saat pertama kali bertemu, wajahnya terlihat begitu muram, tak ada senyum yang dilepas, hanya tatapan mata hampa yang tampak begitu jelas.
"Salam kenal mbak indri, saya Anjas Permata, selamat datang di Rumah Hipnoterapi. Apa yang bisa saya bantu?"Â kalimat pembuka coba saya lemparkan untuk membangun keakraban.
"Saya bingung pak mau mulai dari mana?" jawabnya singkat kepada saya.
Tidak semua sesi konseling berjalan mudah dan lancar, hal itu dikarenakan kondisi setiap klien tentu berbeda-beda. Bukan hanya kasus per kasus, melainkan juga tergantung dari karakter yang dimiliki.
Setelah terbangun bounding yang cukup, mbak Indri lantas mulai menceritakan tentang semua yang ia rasakan dan alami selama ini. Hal menarik bagi saya pribadi sejak menjadi profesional hipnoterapis adalah hampir 95% kasus selalu ada hubungannya dengan luka atau trauma masa kecil.
Tidak terkecuali klien yang satu ini, ia menuturkan bahwa di masa kecilnya selalu mendapatkan kekerasan verbal dan fisik yang dilakukan oleh sang ayah. Bahkan lebih parahnya lagi, ia pernah mendapatkan pelecehan seksual dari kakak kandungnya sendiri.
Peristiwa-peristiwa buruk masa lalu itulah yang membentuk indri kecil menjadi pribadi yang pendiam dan penakut hingga sekarang. Belum lagi ditambah semasa sekolah, ternyata klien juga menjadi korban bullying dari teman-temannya.
Sang ibu tergolong orang tua yang abai. Dia jarang sekali memperhatikan anak-anaknya karena sibuk bekerja membantu ekonomi keluarga.
Problem mbak Indri tidak berhenti sampai di sini. Saat remaja hingga dewasa, ia sering dikecewakan oleh pasangannya. Beberapa kali menjalin hubungan asmara, namun selalu kandas karena orang ketiga.
Ujian bertubi-tubi yang dialami membuat mbak indri semakin frustasi dan putus asa. Dengan isak tangis tiada henti, ia menceritakan setiap peristiwa dengan sangat detail. Ruang terapi menjadi satu-satunya saksi di luar kami berdua.
Singkat cerita sesi konseling telah usai, untungnya mbak Indri memiliki sub modalitas dan sugestivitas relatif sangat baik, sehingga saya menyarankan untuk mengikuti program hipnoterapi.
Beberapa sesi yang saya sarankan untuk diikuti antara lain:
- Release Emosi
- Release Trauma
- Forgiveness Therapy
- Parts Therapy; dan
- Hypno Motivation
Seminggu sudah mbak Indri menuntaskan 2 sesi awal dari jadwal 5 sesi yang menjadi program. Alhamdulillah perkembangan mental dan kondisi psikisnya berangsur membaik.
Kini saatnya ia menjalani terapi memaafkan atau forgiveness therapy. Sesi ketiga menjadi sesi yang cukup berat baik bagi klien maupun kami sebagai juru hipnoterapis karena di sesi ini, klien wajib menghadirkan sosok orang-orang yang telah berbuat salah untuk dimaafkan.
Coba bayangkan Anda menjadi mbak indri, apakah akan dengan mudah memaafkan? Jawabanya sudah barang tentu tidak!
Oleh sebab itu, biasanya saya akan menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan memaafkan. Menurut hemat saya, ada 3 hal yang perlu kita pahami dalam proses memaafkan.
1. Memaafkan bukan melupakan kejadian.
Dalam kajian ilmu teknologi pikiran disebutkan bahwa semua hal yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh setiap manusia akan tersimpan dengan sangat rapi di dalam pikiran bawah sadar atau subconscious mind.
Semua memori, entah memori baik ataupun buruk akan tersimpan secara permanen, sehingga mustahil seseorang bisa melupakan kejadian-kejadian di masa lalunya. Kalaupun saat ini Anda "merasa" lupa, bukan berarti memori itu hilang, ibaratnya mereka hanya terkunci di dalam laci pikiran.
Setiap saat Anda bisa membuka laci pikiran atau ia bisa saja terbuka sendiri manakala ada hal-hal yang menjadi pemicu. Masalahnya adalah kalau yang disimpan lebih banyak memori-memori buruk, maka kita perlu melakukan proses editing agar kita bisa mengendalikan dampak emosionalnya.
2. Memaafkan bukan membenarkan kesalahan.
Semua kesalahan yang pernah kita perbuat atau yang dilakukan orang lain kepada kita, selamanya tetap menjadi kesalahan-kesalahan yang tidak dapat dibenarkan.
Rasa bersalah dan penyesalan biasanya muncul saat kita mengingat kesalahan diri sendiri. Sedangkan rasa dendam dan amarah muncul manakala kita mengingat kesalahan-kesalahan yang diperbuat orang lain.
Memaafkan bukan untuk membenarkan atau memaklumi setiap kesalahan. Bukan berarti dengan memaafkan, maka setiap kesalahan menjadi benar dan sah-sah saja untuk dilakukan.
3. Memaafkan bukan memberikan maaf.
Memaafkan bukan sesuatu yang harus diminta, sehingga tidak ada kewajiban bagi kita untuk memberikan. Apakah kita harus menunggu orang lain meminta maaf terlebih dahulu baru kemudian kita memaafkan? Jawabannya lagi-lagi tidak!
Banyak orang berbuat kesalahan tetapi tidak merasa bersalah. Jika kita menunggu orang lain sadar bahwa dia berbuat salah kepada kita, maka tentu kita sendiri yang terus-menerus merasakan sakitnya bukan?
Sebagai contoh, orang tua menerapkan pola asuh diktator kepada anaknya. Kekerasan yang dilakukan dianggap sebagai hal yang wajar untuk mendidik. Padahal disisi lain sang anak justru merasa tertekan, tidak nyaman bahkan menjadi nakal.
Orang tua merasa tidak bersalah sehingga tidak perlu minta maaf, sedangkan sang anak digoreskan luka yang membekas selamanya.Â
Sampai di sini mungkin Anda mulai mengernyitkan dahi, kemudian bingung dan bertanya lantas apa yang dimaksud memaafkan?
"Memaafkan adalah melepaskan keterikatan emosional kita terhadap kesalahan diri dan orang lain di masa lalu, tujuannya agar kita bisa melanjutkan hidup kita di masa sekarang dan masa yang akan datang."Â - Anjas Permata
Ada 2 kata kunci dari definisi memaafkan yang saya tulis di atas yaitu kata melepaskan dan melanjutkan.
Saya berikan ilustrasi contoh, bahwa setiap kesalahan yang kita perbuat dan/atau yang dilakukan oleh orang lain lepada kita ibarat sebuah pisau yang tertancap di badan.
Bayangkan tubuh Anda dipenuhi oleh pisau yang menancap, tentu sakit yang akan Anda rasakan. satu-satunya cara agar tubuh kita tidak lagi merasa sakit adalah dengan melepaskan pisau-pisau yang menancap itu.Â
Bekas luka memang tidak akan bisa kembali sempurna, tetapi setidaknya sudah tidak ada lagi pisau yang menancap di tubuh kita.
Ilustrasi kedua, ketika Anda belum memaafkan, kedua kaki Anda seolah-olah diikat oleh tali atau rantai sehingga Anda tidak bisa bergerajk kemana-mana. Satu-satunya cara agar Anda bisa bergerak dan melanjutkan hidup adalah dengan memutuskan rantainya.
Jadi sekali lagi memaafkan adalah melepaskan keterikatan emosional (pisau dan rantai) terhadap kesalahan diri dan orang lain di masa lagu agar kita bisa bergerak serta melanjutkan hidup di masa sekarang dan masa depan.
Berikut manfaat memaafkan untuk diri kita:
- Menciptakan ketenangan dan kedamaian
- Menumbuhkan kesadaran dan penerimaan
- Mengurangi tingkat kecemasan
- Meningkatkan kesehatan psikis
- Meningkatkan fokus dan kendali pikiran
Sesi terapi memaafkan telah berhasil dituntaskan oleh mbak Indri. Sekarang dia merasakan kedamaian hati, ketenteraman batin dan ketenangan jiwa karena telah berhasil melepaskan semua pisau-pisau yang menancap serta memutuskan semua rantai yang selama ini membelenggu.
Semoga dengan tulisan ini kita semua bisa memaafkan tanpa diminta untuk melepaskan keterikatan dan melanjutkan hidup yang penuh dengan kebaikan.
-Anjas Permata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H