Coba bayangkan Anda menjadi mbak indri, apakah akan dengan mudah memaafkan? Jawabanya sudah barang tentu tidak!
Oleh sebab itu, biasanya saya akan menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan memaafkan. Menurut hemat saya, ada 3 hal yang perlu kita pahami dalam proses memaafkan.
1. Memaafkan bukan melupakan kejadian.
Dalam kajian ilmu teknologi pikiran disebutkan bahwa semua hal yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh setiap manusia akan tersimpan dengan sangat rapi di dalam pikiran bawah sadar atau subconscious mind.
Semua memori, entah memori baik ataupun buruk akan tersimpan secara permanen, sehingga mustahil seseorang bisa melupakan kejadian-kejadian di masa lalunya. Kalaupun saat ini Anda "merasa" lupa, bukan berarti memori itu hilang, ibaratnya mereka hanya terkunci di dalam laci pikiran.
Setiap saat Anda bisa membuka laci pikiran atau ia bisa saja terbuka sendiri manakala ada hal-hal yang menjadi pemicu. Masalahnya adalah kalau yang disimpan lebih banyak memori-memori buruk, maka kita perlu melakukan proses editing agar kita bisa mengendalikan dampak emosionalnya.
2. Memaafkan bukan membenarkan kesalahan.
Semua kesalahan yang pernah kita perbuat atau yang dilakukan orang lain kepada kita, selamanya tetap menjadi kesalahan-kesalahan yang tidak dapat dibenarkan.
Rasa bersalah dan penyesalan biasanya muncul saat kita mengingat kesalahan diri sendiri. Sedangkan rasa dendam dan amarah muncul manakala kita mengingat kesalahan-kesalahan yang diperbuat orang lain.
Memaafkan bukan untuk membenarkan atau memaklumi setiap kesalahan. Bukan berarti dengan memaafkan, maka setiap kesalahan menjadi benar dan sah-sah saja untuk dilakukan.
3. Memaafkan bukan memberikan maaf.
Memaafkan bukan sesuatu yang harus diminta, sehingga tidak ada kewajiban bagi kita untuk memberikan. Apakah kita harus menunggu orang lain meminta maaf terlebih dahulu baru kemudian kita memaafkan? Jawabannya lagi-lagi tidak!
Banyak orang berbuat kesalahan tetapi tidak merasa bersalah. Jika kita menunggu orang lain sadar bahwa dia berbuat salah kepada kita, maka tentu kita sendiri yang terus-menerus merasakan sakitnya bukan?
Sebagai contoh, orang tua menerapkan pola asuh diktator kepada anaknya. Kekerasan yang dilakukan dianggap sebagai hal yang wajar untuk mendidik. Padahal disisi lain sang anak justru merasa tertekan, tidak nyaman bahkan menjadi nakal.