Baiklah sebelum melanjutkan bagaimana cara mengatasi Quarter Life Crisis agar kita tidak terkikis, aku mau bagikan dulu pengalaman pribadi masa-masa awal membangun karir dan pekerjaan.
Tepat di usia 21 tahun aku lulus kuliah dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Aku menyelesaikan pendidikan tinggi lumayan cepat dengan total waktu 3 tahun dan 8 bulan. Prestasi akademik juga tergolong okelah dengan IPK 3,72.
Aku tidak berasal dari keluarga kaya raya juga bukan dari keluarga tidak mampu. Mama dan papa bekerja sebagai PNS di salah satu kelurahan dan RSUD kota Mojokerto.
Ketika lulus kuliah hanya ada 1 tujuanku, BEKERJA!Â
Aku tidak mau berlama-lama jadi pengangguran. Keinginan untuk bekerja seolah membuyarkan idealisme yang selama ini aku gaungkan semasa kuliah.
Masa kuliah aku bercita-cita menjadi Hakim, Jaksa atau Dosen Fakultas Hukum. Biasalah namanya anak Hukum, maka wajar cita-citanya juga di bidang hukum.
Tetapi realita menendangku jauh. Alih-alih berprofesi di bidang hukum, aku justru diterima di salah satu perusahaan multifinance.
Bukannya tidak berusaha, aku sudah mencoba beberapa kali mengikuti tes profesi hukum tapi hasilnya nihil. Belum lagi benturan teknis dan mekanisme penyaringan 'tanda kutip' yang masih saja dipraktikkan di kalangan elit, semakin membenamkan idealisme dan gagasan itu.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengubah haluan untuk berkarir di perusahaan swasta. Salah satu alasanku adalah karena karir di perusahaan swasta mempunyai iklim kompetisi yang cukup sehat jauh dari Nepotisme.
Akhirnya aku jalani pekerjaan sebagai seorang supervisor sales. Penempatan pertama di cabang Medan, Sumatera Utara.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!