Pagelaran Oscar 2018 memang sudah lewat. Alhamdulillah, ga ada surprise yang membuat orang marah  dan mengecam tim juri karena tidak memenangkan film kesayangan mereka. Jika di dunia sepakbola sudah akrab dengan "drama", maka dunia perfilman jelas akan lebih akrab dengan "drama" yang menyelimutinya. Lah wong, drama itu salah satu genre dari film.Â
Memang, Shape of Water layak menang. Kasian juga membayangkan Guilerme Del Toro yang sudah lama menanti untuk mengucapkan seribu terimakasih dalam pidato diatas podium kemenangan. Sekali lagi, saya akui Shape of Water film yang kece, dan menciptakan nuansa tersendiri dalam memandang sebuah Alien. That kind of creatures terkadang layak untuk dicintai.
Terlepas dari sorotan media yang menjagokan pilihannya masing-masing, ada satu film yang sangat saya sayangkan lepas dari nominasi "Best Pictures" tahun ini. Judulnya: I, Tonya.Yup, saya yakin sebagian dari anda sudah pernah dengar, dan sebagian dari anda (penonton dan penikmat film yang tidak berusaha mengingat nama pemainnya) langsung berkata: "Oh, film yang pemainnya si Harley Queen!".Â
Yup, 100 untuk anda. By the way, namanya Margot Robbie. Asli Australia, dan hebatnya dia bisa main keren di film ini dan yang terpenting keluar dari bayang-bayang tambatan hati The Joker si Suicide Squad. Efeknya, Margot Robbie dalam Oscar kali ini diganjar nominasi Aktris Terbaik. Namun sayangnya, jatuh ke tangan Frances McDormand. Its okay, you still a winner for me!
Jangan sampai salah, kali ini yang akan saya bahas bukan betapa cantik dan ciamiknya Margot Robbie, namun lebih kepada betapa "kerennya" cerita, makna, dan pesan dalam film I, Tonya yang dibintanginya. Secara garis besar, film ini bergenre drama dalam balutan tema olahraga. Settingnya adalah tahun 1980an akhir hingga tahun 1990an awal.Â
Momen dimana AC Milan lewat trio Belandanya sangat ditakuti, terlebih oleh Manchaster City yang kala itu masih menjadi tim sekelas Crystal Pallace. I, Tonya sendiri merupakan film biopik dari perjalanan Tonya Harding, seorang pemain olahraga Ice Skating asal Amerika Serikat. Apa yang membuat cerita Tonya hebat, sehingga layak dijadikan film?
Beragam alasan coba dijelaskan selama kurang lebih 120 menit film ini berjalan. Tonya sendiri (dalam wawancara aslinya) mengakui bahwa ia menjadi terkenal karena ia adalah wanita pertama asal Amerika Serikat  yang mampu melakukan Triple Axes dalam sebuah kejuaraan Ice Skating. Apa sih itu Triple Axes? Gambarannya adalah sebuah loncatan indah yang berputar-putar dan terlihat sangat susah.Â
Berhubung saya bukan pemain Ice Skating (main sekali di mall Taman Anggrek, langsung trauma), jadi saya tidak bisa menjelaskan sedetail-detailnya mengenai gerakan tersebut. Intinya sebuah gerakan yang luar biasa susah! Hmm..jika dianalogikan dalam sepakbola, ibarat melakukan banana free kick (yang menjadi legenda) ala Roberto Carlos ke gawang Fabian Barthez pada tahun 1997.
Namun, ternyata bukan "gerakan susah" itu yang menjadi jawaban Tonya Harding bisa sangat populer, sampai-sampai Craig Gillespie sang sutradara rela mengangkat perjalanan hidup ini menjadi sebuah film berkelas festival. Jawabannya adalah sisi egois dirinya yang rela menempuh jalan apapun agar bisa masuk Olimpiade Musim Dingin 1994.Â
Cara yang ditempuh memang berliku. Dia mati-matian berlatih dan mengikuti semua kejuaraan, namun dia juga tidak mengatakan "tidak" ketika suaminya, Â Jeff Gillooly membisiki cara lain agar Tonya pasti bakal tampil di kejuaraan yang didambakan Tonya dari umur 3 tahun. Sebuah cara yang cukup sadis yang kelak akan mengakhiri karir Tonya harding dalam dunia olahraga Ice Skating.
Jeff Gillooly, sang suami yang tidak kalah gilanya dengan Ibu kandung Tonya, menawarkan ide untuk meneror pesaing utama Tonya di Amerika, seorang atlet Ice Skating juga yang sudah lama berbagi gelar dengan Tonya. Sehingga tidak akan ada rasa takut kalau komite Ice Skating Amerika akan memilih Nancy Kerrigan dibandingkan Tonya untuk mewakili Amerik Serikat. Cara pintas ditempuh, yang akhirnya Nancy Kerrigan dilukai dibagian kaki oleh "orang suruhan" Jeff Gillooly, sehingga peluang Nancy untuk tampil di Olimpiade sirna, dan jalan Tonya semakin mulus. "Kecelakaan" ini berubah menjadi sebuah kasus persaingan olahraga yang cukup populer kala itu di Amerika.
Inti cerita, walaupun tidak ada niatan langsung dari Tonya untuk melukai Nancy Kerrigan, namun pengadilan memutuskan bahwa Tonya Harding harus lebih dini menutup karirnya di dunia Ice Skating. Dirinya tidak diperkenankan untuk kembali lagi menginjak "rumput" Ice Skating. Sebuah cerita yang uniknya, hampir mirip dengan sebuah kasus yang baru berkembang akhir-akhir ini.
Kasus "unik" ini memang cukup langka terjadi dalam dunia sepakbola. Milyaran orang didunia sudah tahu bahwa sepakbola adalah permianan kolektif yang bukan bermuara kepada satu individu saja. Namun, dalam kasus langka ini, ada satu individu yang "terlihat" mengedepankan prestasi dirinya sendiri tanpa memikirkan perasaan anggota tim lainnya.
Harry Kane, sang raja gola Spurs sekaligus Top Skor EPL dalam dua musim terakhir, mulai ketakutan kalau dirinya bakal gagal "Hat Trick" untuk ketiga kalinya sebagai pencetak gol terbanyak liga.Â
Sebuah prestasi yang bahkan tidak dapat diukir seorang Cristiano Ronaldo. King Kane mulai terlihat panik ketika Mo salah, pesaing gelar Top Skor mulai menjauh dari kejaran. Saat itu, winger Liverpool sudah mengemas 29 gol di liga. Sedangkan Kane masih tertinggal 5 gol di belakang Salah. Yang kemudian terjadi adalah sebuah cerita unik yang mungkin akan terus menjadi lelucon dan bahan kelakaran para Hooligans yang nongkrong di pub seputaran London, hingga para pekerja tambang di Chile yang mengikuti intens drama Liga Inggris.
Tidak puas timnya berhasil meraih 3 poin penting, Harry Kane malah merengek ke sang pelatih, Mauricio Pochettino bahwa gol kedua yang dilesakan Eriksen mengenai dirinya terlebih dahulu sebelum berbelok masuk ke gawang yang dikawal Jack Butland. Kane bersikeras agar gol kedua tersebut ditinjau ulang oleh Panelis Liga Inggris.Â
Hasil yang diinginkan Kane pun terkabul, layaknya permintaan anak kecil yang merengek ingin minta dibelikan es krim vanila oleh ibu nya. Hasil panelis memutuskan bahwa gol kedua tersbeut milik Harry Kane bukan Christian Eriksen. Sebuah keinginan yang sebelumnya diiringi oleh sumpah Kane atas hidup putrinya ketika diwawancarai BBC sesudah pertanidngan, bahwa goal tersebut sungguh -- sungguh milik dirinya. Sebuah tindakan sepele, namun dipercaya akan membawa dampak besar.
Andai Harry Kane yang sering dipercaya mengenakan ban kapten Spurs, mau berfikir lebih panjang, dia pasti tidak akan melakukan tindakan konyol tersebut. Dampak yang kan terlihat pasti sangat beragam. Pertama, kita mulai dari dampak luar yang menghasilkan beragam pandangan untuk seorang Harry Kane, dan itu semua dapat dilihat dari pergolakan dunia sosial media. Kemenangan Kane sempat menjadi hot issue yang cukup hangat dalam beberapa hari.Â
Namun yang tidak enak adalah, trending Topic yang bermuara kepada Harry Kane ini dibungkus dalam jutaan jokes yang jika dibaca satu persatu bisa membuat kita ketawa terpingkal-pingal 3 hari 3 malam. Beragam jokes yang beredar, mulai dari orang yang rela "diklaim" mantannya oleh Kane, hingga jokes yang meminta agar Kane merebut gol tangan tuhan Maradonna tahun 1986. Namun, yang tidak kalah memalukan adalah ketika para pemain sepakbola ikut berkomentar lewat akun sosial media mereka.
Mo Salah yang dipercaya menjadi alasan utama Kane berbuat sekonyol itu, juga ikut berkomentar (walau berbentuk pesan tersirat, namun dipercaya menyindir Harry Kane) yang kemudian diikuti oleh Jamie Verdy (rekan duet Kane di timnas) hingga Gary Lineker dan Alan Shearer, legenda Inggris yang secara tersirat malu akan kasus ini. Hebatnya, Kane sendiri tidak terganggu dengan beragam berita dirinya. Dikutip dari BBC online, Striker The Three Lions ini menganggap hal ini sangat lumrah. Sesuatu yang wajar dan bisa saja siapapun akan bertindak seperti dirinya. Hmm, kali ini saya tidak yakin sih semua striker akan berfikir sama.
Dimana dampak berikutnya adalah, dampak kedua yang menjadi poros dari kasus "sepele" ini adalah pergolakan didalam tim Spurs sendiri. Ketika semua sorotan mengarah kepada Harry Kane, apakah Kane sendiri tidak berfikir bagaimana perasaan seorang Christian Ericksen.Â
Memang, playmaker Denmark tersebut tidak sedang ikut perlombaan meraih golden boots EPL, namun ukiran satu gol cukup berpengaruh dalam karirnya sebagai pesepakbola. Jumlah satu gol, akan menambah manis CV dia sebagai pemain Spurs, dimana dalam posisinya sebagai gelandang jumlah gol tidak selalu menjadi tolak ukur keberhasilan.Â
Tapi apakah salah, jika seorang playmaker mempunyai rekor gol yang menawan? Beberapa pendapat dari linimasa juga mengejar komentar dari Ericksen, yang sayangnya hanya diam seribu bahasa saja tanpa mengucapkan apakah ia cukup senang demi harry Kane, atau dia sedih karena harus "direlakan" berkorban untuk gelar pribadi pemian yang selalu rajin dihujani assits olehnya.
Bahkan jika, dipikirkan lebih jauh, kelak masalah ini dapat memicu hubungan yang tidak enak diantara keduanya. Atau dilevel pemain lain, yang mulai merasakan "keegoisan" kane, dan mulai terpecah menjadi dua kubu yang berbeda.Â
Namanya juga sepakbola, permainan kolektif yang seharusnya tidak dinodai oleh keegosian salah satu pemainnya. Banyak pendapat juga yang mengatakan bahwa, kejadian ini akan memicu proses transfer dari keduanya. Dimana bisa saja salah satu dari Kane atau Ericksen pergi meninggalkan Spurs pada jeda transfer musim ini. Toh, keduanya berlabel bintang dan saya yakin akan cept mencari pelabuhan berikutnya.
Dampak ketiga dari perilaku "individualis" seorang Harry Kane adalah pada dirinya sendiri. Sisi egois yang memaksa panelis EPL menengok kembali gol Ericksen, pasti akan membekas dalam ingatan setiap pendukung Spurs, hingga para maniak sepakbola dibelahan dunia. Adakalanya seorang pemain, juga mementingkan citra atau image yang akan tertera dari perilakunya di dalam maupun luar lapangan.Â
Mau bukti? Siapa yang berani dengan Gatusso? Jelas semua akan takut karena citra yang dibentuk adalah "pemarah" dan tidak pandang bulu menghajar siapapun. Apapun prestasi yang didapatkan oleh Gatusso, orang terlebih dulu akan mengingatnya sebagai gelandang bertahan yang selalu berapi-api di dalam dan luar lapangan.
Jangan sampai, karena kasus kecil yang berbalut ego besar, menimbulkan image yang buruk akan persona yang dibangun seorang Harry Kane. Ingat, mau sehebat apapun sang pemain, jika ada label "buruk" dalam dirinya, maka setiap klub akan berfikir dua kali untuk menampungnya. Mau sehebat apapun Mario Balotelli bermain dan mencetak gol untuk OGC Nice, klub seperti Barcelona yang mengutamakan sikap pemain akan berfikir seribu kali untuk sekedar menyapa "hello" kepada Mino Raiola, sang agen.
Namun level yang paling ditakuti adalah, jangan sampai seorang Kane yang telah terlanjur berbuat hal "memalukan" ini, dan tetap gagal menyaingi Mo Salah sebagai Top Skor Liga Inggris 2017/2018. Cap "Egois" akan terus menempel kepada dirinya.Â
Label yang kelak akan mengungkapkan, bahwa Harry Kane akan melakukan apa saja, sampai pada hal diluar nalar untuk meraih apapun yang ia inginkan. Walau terkadang, hal tersebut bisa berujung kepada kehancuran karir nya di dunia olahraga. Mau bukti? Tanya saja kepada Tonya Harding, yang kisahnya diangkat menjadi sebuah film berlevel Oscar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H