Secara teoritis definsi hukum merupakan peraturan yang berupa sanksi dan norma yang memang sengaja dibuat dengan tujuan mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan, dan juga mencegah terjadinya kekacauan. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa tujuan hukum untuk suatu bonum commune atau kebaikan umum atau Bersama (Simplesius Sandur, 2019).Â
Dalam hal tersebut Negaralah yang memiliki otoritas untuk membuat norma-norma yang dimaksud, yang dimana menurut pemikiran Thomas Hobbes hakikat terbentuknya suatu negara karena adanya kontrak sosial. Di mana didalam kontrak tersebut manusia atau setiap individu secara sukarela menyerahkan hak-haknya serta kebebasannya kepada negara. Kemudian konsep negara berkembang menjadi negara hukum.
Negara hukum ialah suatu negara, dimana perseorangan mempunyai hak terhadap negara, di mana hak-hak asasi manusia diakui dalam Undang-undang, di mana untuk merealisirkan perlindungan hak-hak ini kekuasaan negara dipisahkan hingga badan penyelenggara, badan pembuat undang-undang dan peradilan berada pada pelbagai tangan, satu dan lain dengan susunan badan peradilan yang bebas kedudukannya, untuk dapat memberi perlindungan semestinya kepada setiap orang yang merasa hak-haknya dirugikan, walaupun andaikata hal ini terjadi oleh alat negara sendiri (Sudargo Gautama, 1973). Sebagaimana gagasan pemikiran Monstesquieu tentang Trias Politica. Dan Konstitusi Indonesia menterjemahkan dengan adanya pemisahan cabang kekuasaan yakni; eksekutif, legislative dan yudikatif.Â
Konsep Negara Hukum juga diadopsi oleh Negara Republik Indonesia, sehingga negara sebagai instrumen utama yang memiliki otoritas untuk membentuk peraturan perundang-undangan dengan tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajuka  kesejehteraan umum, mercerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia, lebih dari itu tujuan hukum menurut Gustav Radbruch membagi kedalam 3 (tiga) element penting untuk tercapainya tujuan hukum yaitu Kepastian, Keadilan dan Kemanfaatan.Â
Dalam praktek penegakan hukum tujuan hukum berupa kepastian, keadilan, dan kemanfaatan tidak bisa dengan mudah memenuhi espktasi semua pihak, khususnya dalam penegakan hukum pidana di Indonesia.Â
Bagi masyarakat Indonesia, lemah atau kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada atau tidaknya hukum. Bila penegakan hukum oleh aparat lemah maka publik akan mempersepsikan hukum itu tidak ada atau tidak adil. Begitupun sebaliknya apabila penegakan hukum aparat kuat makan publik akan mempersepsikan hukum itu ada dan ada keadilan di dalamnya.
Bagi penegak hukum (hukum pidana) di Indonesia yang digunakan sebagai dasar pijakan adalah Asas Legalitas, yang dianggap sebagai sumber dari dasar penegakan hukum pidana di Indonesia sebagaiman tertulis secara eksplisit dalam Kitab Suci para yuris yaitu pada KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) khususnya pada Pasal 1 ayat (1).Â
Secara teori Asas Legalitas merupakan penjelmaan dari kepastian hukum karena didalam Legalitas secara konseptual, ditemukan ciri-ciri atau unsur-unsur yang mewakili seluruh pemikiran atau gagasan mengenai kepastian hukum, penegakan hukum, legisme dan kontrak social, serta gagasan politik dan kekuasaan (Fernando Manulang, 2016).Â
Legalitas bermakna hukum dibuat terlebih dahulu untuk mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang tidak sesuai dengan moralitas, ketertiban dan sosial di dalam masyarakat. Sehingga dapat disimplifikasi bahwa perbuatan yang tidak atau belum diatur di dalam peraturan Perundang-iundangan tidak dapat dijatuhi hukuman.
Namun jika hukum hanya dipahami sebuah rumusan perundang-undangan (sebagaimana realita yang selama ini terjadi) sungguh hukum tidak akan pernah bisa menahan lajunya kedinamisan yang terjadi di masyarakat dan tidak akan pernah bisa menegakan keadilan. Karena teks undang-undang merupakan sesuatu yang mati, tidak bisa bergerak tanpa ada yang menggerakan, yaitu manusia.Â
Sehingga menimbulkan persoalan di kalangan masyarakat adalah penegakan hukum dengan cita-cita kepastian hukum tidak serta merta mencapai keadilan. Keadilan bukan saja berkaitan dengan individu-individu tetapi juga berkaitan dengan orang secara umum. Karena itu keadilan  berkaitan atau tidak dapat dipisahkan dari suatu societas atau komunitas hidup bersama yang kita sebut sebagai Negara. (Simplesius Sandur, 2019)
Di sisi lain terjadi distorsi yang serius terhadap tujuan hukum setidak-tidaknya dalam implementasi penegakan hukum itu sendiri, di mana kepastian dan keadilan, relatif tidak dapat berdampingan dalam hal implementasi penegakan hukum di Indonesia. Hal ini kerap terjadi karena adanya keleluasaan hakim yang diberikan oleh undang-undang untuk untuk melakukan tafsir terhadap perkara yang diperiksa walaupun perkara yang diperiksa tidak memiliki dasar hukum yang mengatur sebagaimana yang dimaksud oleh asas legalitas.Â
Ius Curia Novit  adalah asas yang digunakan oleh para hakim sebagai dasar, yang kemudian diperkuat melalui Pasa 10 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009, di mana Pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur. Realitas tersebut sungguh bertentangan dengan klaim Legisme, di mana Hakim hanya diamanatkan sebagai Corong Undang-undang. Dengan kata lain, menurut Montesqiue hakim hanya menjadi corong dari Undang-undang, tidak boleh melebihi dari apa yang dibuat oleh legislative. (Fernando Manulang, 2016).
Ilustrasi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum dapat kita temukan dalam kasus atas nama Baiq Nuril yang sempat menghebohkan publik. Di mana dalam kasus yang dialami oleh baik Nuril bagi sebagian orang telah merampas rasa keadilan, sedangkan jika kita meilihat menggunakan kecamatan Legalistik, seharusnya perbuatan (Dugaan Tindak Pidana) yang dilakukan oleh Baiq Nuril perlu dilakukan pengujian sebagaimana ketentuan yang berlaku di Indonesia yaitu Hukum Pidana Material dan Hukum Pidana Formil.Â
Walaupun banyak pihak yang berpandangan secara kritis namun sinis bahwa Baiq Nuril adalah korban kriminalisasi terhadap dugaan Perbuatan Pidana Pihak Lain. Terjadi paradoks dalam penegakan hukum Baiq Nuril dengan Cita-cita Penegakan Hukum.Â
Alih-alih menegakan kepastian Hukum dengan menjalankan mekanisme pidana formil terhadap dugaan perbuatan pidana yang dilakukan oleh Baiq Nuril dilalah atas nama Keadilan, Presiden RI Jokowi Dodo memberikan Amnesty kepada Baiq Nuril. Secara implisit Presiden Jokowi mengaminkan adanya kriminalisasi terhadap kasus Baiq Nuril, tanpa adanya upaya pengujian di Persidangan.
Betata pun konstitusi kita kaya akan norma yang menjelaskan tentang kepastian hukum, tidak lantas dalam penerapan dan berjalan sebagaimana yang dicita-citakan, malah atas dasar keadilan yang berlandaskan alasan kemanusian mendistorsi makna kepastian hukum itu sendiri. Kepastian Hukum yang tertulis di dalam konstitusi mungkin bisa disebut sebagai formalitas, formalitas sebagai konsekuensi Negara Hukum.Â
Apabila diilutrasikan seperti tulisan bahaya merokok pada bungkus rokok, yang hanya sebagai formalitas kewajiban bagi produsen rokok kepada pemerintah, dan para perokok tidak memperdulikan peringatan bahaya merokok di bungkus merokok yang mereka beli. Mungkin seperti itu gambaran Kepastian Hukum yang tertulis dalam Konstitusi. Â Â Â Â
Perdebatan mengenai Kepastian Hukum dan Keadilan setidaknya akan terus mewarnai dinamika penegakan hukum di Indonesia, setidaknya pandangan dalam perdebatan ini akan memperkaya adaanya gagasan tentang penegakan hukum, dan sekaligus sebagai kritik kepada Penguasa untuk dapat lebih sensitif dengan tidak secara sewenang-wenang menggunakan kepastian hukum untuk merampas rasa keadilan, setidaknya keadilan di mata individual.Â
Pun sebaliknya Keadilan harus memiliki parameter yang lebih terukur, agar tidak kemudian menjadi argumentasi liar yang kemudian mendistorsi penegakan hukum.
Setidaknya bagi penulis, memiliki pandangan bahwa perlu adanya kepastian hukum sebagai batasan-batasan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara agar tidak terjadi kesewenang-wenangan yang dapat berimplikasi terjadinya kekacaun, setidaknya dalam upaya penegakan hukum tanpa menghilangkan esensi dari keadilan, yang memang seharusnya menjadi tanggung jawab negara kepada rakyatnya.Â
Sungguh pun sangat dipahami bahwa eksistensi hukum tidak terlepas dari agenda politik penguasa, namun demikian diharapkan kekuasaan itu tidak menjadi senjata bagi penguasa untuk berlaku sesuka hati, sebaliknya bagi masyarakat perlu adanya batasan yang kongkrit sehingga hak dan kewajiban sebagai warga negara dapat dijalankan sebaik mungkin, tanpa mencederai hak-hak dari pihak lain yang memiliki kepentingan yang sama dalam bermasyarakat dan bernegara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H