Di sisi lain terjadi distorsi yang serius terhadap tujuan hukum setidak-tidaknya dalam implementasi penegakan hukum itu sendiri, di mana kepastian dan keadilan, relatif tidak dapat berdampingan dalam hal implementasi penegakan hukum di Indonesia. Hal ini kerap terjadi karena adanya keleluasaan hakim yang diberikan oleh undang-undang untuk untuk melakukan tafsir terhadap perkara yang diperiksa walaupun perkara yang diperiksa tidak memiliki dasar hukum yang mengatur sebagaimana yang dimaksud oleh asas legalitas.Â
Ius Curia Novit  adalah asas yang digunakan oleh para hakim sebagai dasar, yang kemudian diperkuat melalui Pasa 10 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009, di mana Pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur. Realitas tersebut sungguh bertentangan dengan klaim Legisme, di mana Hakim hanya diamanatkan sebagai Corong Undang-undang. Dengan kata lain, menurut Montesqiue hakim hanya menjadi corong dari Undang-undang, tidak boleh melebihi dari apa yang dibuat oleh legislative. (Fernando Manulang, 2016).
Ilustrasi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum dapat kita temukan dalam kasus atas nama Baiq Nuril yang sempat menghebohkan publik. Di mana dalam kasus yang dialami oleh baik Nuril bagi sebagian orang telah merampas rasa keadilan, sedangkan jika kita meilihat menggunakan kecamatan Legalistik, seharusnya perbuatan (Dugaan Tindak Pidana) yang dilakukan oleh Baiq Nuril perlu dilakukan pengujian sebagaimana ketentuan yang berlaku di Indonesia yaitu Hukum Pidana Material dan Hukum Pidana Formil.Â
Walaupun banyak pihak yang berpandangan secara kritis namun sinis bahwa Baiq Nuril adalah korban kriminalisasi terhadap dugaan Perbuatan Pidana Pihak Lain. Terjadi paradoks dalam penegakan hukum Baiq Nuril dengan Cita-cita Penegakan Hukum.Â
Alih-alih menegakan kepastian Hukum dengan menjalankan mekanisme pidana formil terhadap dugaan perbuatan pidana yang dilakukan oleh Baiq Nuril dilalah atas nama Keadilan, Presiden RI Jokowi Dodo memberikan Amnesty kepada Baiq Nuril. Secara implisit Presiden Jokowi mengaminkan adanya kriminalisasi terhadap kasus Baiq Nuril, tanpa adanya upaya pengujian di Persidangan.
Betata pun konstitusi kita kaya akan norma yang menjelaskan tentang kepastian hukum, tidak lantas dalam penerapan dan berjalan sebagaimana yang dicita-citakan, malah atas dasar keadilan yang berlandaskan alasan kemanusian mendistorsi makna kepastian hukum itu sendiri. Kepastian Hukum yang tertulis di dalam konstitusi mungkin bisa disebut sebagai formalitas, formalitas sebagai konsekuensi Negara Hukum.Â
Apabila diilutrasikan seperti tulisan bahaya merokok pada bungkus rokok, yang hanya sebagai formalitas kewajiban bagi produsen rokok kepada pemerintah, dan para perokok tidak memperdulikan peringatan bahaya merokok di bungkus merokok yang mereka beli. Mungkin seperti itu gambaran Kepastian Hukum yang tertulis dalam Konstitusi. Â Â Â Â
Perdebatan mengenai Kepastian Hukum dan Keadilan setidaknya akan terus mewarnai dinamika penegakan hukum di Indonesia, setidaknya pandangan dalam perdebatan ini akan memperkaya adaanya gagasan tentang penegakan hukum, dan sekaligus sebagai kritik kepada Penguasa untuk dapat lebih sensitif dengan tidak secara sewenang-wenang menggunakan kepastian hukum untuk merampas rasa keadilan, setidaknya keadilan di mata individual.Â
Pun sebaliknya Keadilan harus memiliki parameter yang lebih terukur, agar tidak kemudian menjadi argumentasi liar yang kemudian mendistorsi penegakan hukum.
Setidaknya bagi penulis, memiliki pandangan bahwa perlu adanya kepastian hukum sebagai batasan-batasan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara agar tidak terjadi kesewenang-wenangan yang dapat berimplikasi terjadinya kekacaun, setidaknya dalam upaya penegakan hukum tanpa menghilangkan esensi dari keadilan, yang memang seharusnya menjadi tanggung jawab negara kepada rakyatnya.Â
Sungguh pun sangat dipahami bahwa eksistensi hukum tidak terlepas dari agenda politik penguasa, namun demikian diharapkan kekuasaan itu tidak menjadi senjata bagi penguasa untuk berlaku sesuka hati, sebaliknya bagi masyarakat perlu adanya batasan yang kongkrit sehingga hak dan kewajiban sebagai warga negara dapat dijalankan sebaik mungkin, tanpa mencederai hak-hak dari pihak lain yang memiliki kepentingan yang sama dalam bermasyarakat dan bernegara.