Sehari sebelum mengikuti ujian SR awak tuturkan dengan sedikit berbisik karena takut dimarahi  emak.
" ohhoooiii baa jo angku guru waang, mano ado sipatu angkau"
Mak marah, awak diam saja. Â Mak sebenarnya sedih bukan marah benaran, cik gu yang beliau salahkan. Padahal memang demikianlah, Â sepatu harus dipakai murid sebagai penghormatan kepada institusi sekolah.
"pakai sipatu uda mu"
Emak akhirnya menyorongkan sepatu kakakku Syahrir  belajar di Sekolah Tehnik (ST) Jambi.   Awak diam saja menurut, patuh dan taat tidak membantah. Sebenarnya awak ingin sekali dibelikan sepatu "bata " baru. Tapi biarlah, pinjam punya Uda walaupun sepatu nya kebesaran.  Mak tak habis akal, seperti Wanita Minang  banyak akalnya,.  Mak memasukkan carik (sejenis kain gombal ) di ujung dalam sepatu.
" Nah pakai sepatu iko, lai sasuai kan ?"
Awak bawa berjalan sepatu si uda, kebesaran, lobok istilah kampong kami. Â Tetapi bisalah dipakai berjalan yang penting jangan dibuat berlari, bisa lepas melayang si sepatu.
Kami murid kelas 6 tiga minggu  sebelum tiba ujian akhir SR.  Pak Guru menyuruh kami sekolah sore.  Tambahan pelajaran atau mengulang ulang katanya agar kalian lulus semua.
Ya zaman itu belum ada kursus tambahan seperti zaman ini.  Kami sekolah pagi tetap, kemudian pukul 16.00 pergi lagi ke kelas.  Bapak Kepala Sekolah langsung  memberi les tambahan.  Bentuk les itu menjawab pertanyaan pelajaran ilmu bumi dan mengerjakan soal soal berhitung.
Banyak kawan yang bersungut, waktu bermain kita berkurang katanya, seharusnya kita berenang  di kolam Pak Kasim,.  Tetapi apa boleh buat  Pak Guru bertingkah pakai sekolah sore segala.
Sejujurnya awak merasakan risau menghadapi ujian sekolah rakyat. Mak terkadang memarahi awak ketika malam malam berteriak teriak keras seperti dikejar harimau.