Mohon tunggu...
Thamrin Dahlan
Thamrin Dahlan Mohon Tunggu... Guru - Saya seorang Purnawirawan Polri. Saat ini aktif memberikan kuliah. Profesi Jurnalis, Penulis produktif telah menerbitkan 24 buku. Organisasi ILUNI Pasca Sarjana Universitas Indonesia.

Mott Menulis Sharing, connecting on rainbow. Pena Sehat Pena Kawan Pena Saran

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

[Catatan Budaya] Unjuk Rasa Wong Cilik

21 September 2016   15:33 Diperbarui: 21 September 2016   17:48 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: jarot10.blogspot.com

Hanya Untuk Kampanye

Istilah wong cilik populer disetiap akan diadakan pemilihan kepala daerah apakah pada tingkatan Presiden sampai kepada pemilihan kepala desa. Wong cilik selalu dijadikan issue kampanye bahwa sang kandidat benar benar peduli kepada komunitas ini. Demikianlah seterusnya sampai saat inipun kaum termarjinalkan itu tetap dijadikan topik keterpihakan kepada orang miskin. Bahwa sang calon akan membela nasib wong cilik ketika jabatan diperoleh. Bisa berupa janji akan meberdayakan wong cilik ke starta ekonomi yang lebih baik.

Sebelum labih jauh berbicara tentang wong cilik ada baiknya kita tinjau dulu apa kata wikipedia :   Wong cilik adalah istilah bahasa Jawa, bahasa dari orang Jawa, Indonesia yang berarti secara literal berarti orang kecil.   Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kelas sosial dalam masyarakat tradisional Jawa yang sama dengan "rakyat jelata" dalam masyarakat feodal. Istilah seberangnya adalah priyayi, yang merupakan kelas elit aristokrat atau bangsawan. Istilah ini masih sering digunakan dalam berbagai media, baik cetak maupun televisi bahkan setelah selesainya masa feodal di Indonesia.

Strategi Capres dan turunannya (Cagub, Cabuo, Cawalkot) berpihak kepada wong cilik berkaitan dengan pemikiran bahwa populasi kelompok gepeng (gelandangan dan pengemis) atau yang rakyat berpenghasilan di bawah rata rata ini sunguh sangat banyak, Diperkirakan jumlah wong cilik sekitar 60 persen dari seluruh jumlah rakyat yang memiliki hak suara.

Apabila komunitas wong cilik memberikan suara kepada kandidat maka bisa dipastikan (diharapkan) calon kepala daerah bisa menang. Oleh karena itu di masa masa kampanye wong cilik mendapat tempat istimewa. Mendapat perhatian sepenuhnya bisa dalam bentuk baju kaos, nasi bungkus, uang transport dan segala macam kesenangan duniawi pada kelasnya.   Tentu saja selain itu selalu di embel embeli janji kehidupan (nanti) yang lebih baik.

Kemudian Dilupakan

Namun apa lacur ketika sang kandidat telah memperoleh jabatan kepala daerah maka serta merta komunitas wong cilik terlupakan atau tepatnya dilupakan. Habis manis sepah dibuang itulah pepatah yang paling tepat muncul pasca pilkada. Wong cilik hanya bisa mengelus dada, " wahai dikau yang berjanji akan memperbaiki nasib kami, dimana kini tuan berada " Itulah keluhan wong cilik yang merata bergema di seantero wilayah.

Wong cilik hanya menjadi slogan. Apalagi disaat pilkada pasca reformasi dimana warga mempunyai hak pilih langsung. Reformasi demokrasi hasil dari amandemen UUD 45 memang menetapkan pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia harus melalui pemilihan langsung. Bila di zaman orde baru pemilihan dilakukan oleh anggota DPR maka kini suara rakyat yang berperan.  Warga yang telah memenuhi syarat seperti yang ditetapkan undang undang pemilu mempunyai hak suara. Hak suara inilah yang perebutkan para calon kepala daerah dengan berbagai cara. ya salah satunya merebut hati wong cilik. Artinya seolah seolah calon pemimpin tersebut akan membela wong cilik.

Wong cilik adalah sebuah istilah yang digunakan untuk membedakan status sosial dalam masyarakat Jawa. Dalam penggunaannya wong cilik selalu dikontraskan dengan istilah priyayi. Masyarakat yang dikelompokkan ke dalam golongan wong cilik adalah sebagian besar massa petani, petani gurem, para pekerja kasar, para pedagang kecil, buruh kecil, di mana kelompok ini merupakan masyarakat kebanyakan dan menjadi lapisan masyarakat bawah. Magnis-Suseno membedakan arti wong cilik dan orang miskin sebagai berikut: "Antara orang kecil dan orang miskin tidak sama. Orang miskin termasuk orang kecil, sedangkan orang kecil hidupnya sederhana, tapi belum tentu miskin."

Memang betul bahwa wong cilik belum tentu miskin, tetapi mereka adalah kaum yang powerless artinya mereka tidak mempunyai kuasa atau kaum yang lemah dan tak berdaya sehingga mudah untuk dieksploitasi dan dimiskinkan. Jadi walaupun mereka tidak miskin tetapi mereka sangat mudah untuk dimiskinkan.

Secara mudah saya gambarkan sebagai berikut: walaupun wong cilik punya tanah yang cukup tetapi karena kondisi kepowerless-annya maka dengan mudah tanah mereka di gusur dengan paksa oleh pihak yang lebih berkuasa  Sehingga   wong cilik didefinisikan sebagai berikut:    "orang yang tak berdaya karena mengalami aneka macam pemiskinan... yang membuat semakin banyak orang hidup semakin tidak manusiawi dan tidak menggambarkan bahwa dia adalah citra Allah yang bermartabat sebagai manusia".Pada umumnya mereka hidup di bawah taraf kewajaran manusiawi". 

Orang Kecil Saja

Perhatikan ungkapan Bung Karno terkait nasib wong cilik.  Presiden Pertama Republik Indonesia pernah mengatakan bahwa : Selama masih ada ratap tangis rakyat miskin di gubug gubuk  maka perjuangan belum selesai. Betapa besar kepedulian Bung Karno terhadap nasib wong cilik.  Kemudian dari pada itu berdirilah partai politik yang katanya membela wong cilik.  Namun dalam perjalanan waktu semua menjadi bias dan semu.  Apakah semangat  Bung Karno hanya tinggal slogan,  sementara masih saja terjadi penggusuran tempat tinggal wong cilik.   

Disinilah perlu dipertanyakan apakah keberpihakan kepada wong cilik itu telah bergeser kepada kepentingan lain. Unjuk rasa wong cilik tidak bertenaga lagi seiring dengan semakin terpuruknya tingkat ekonomi.  Kesehatan dan pendidikan yang seharusnya menjadi kepedulian parpol pendukung wong cilik telah sirna. Sandang pangan dan papan idaman rakyat kecil hanya sebentar disuarakan ketika kampanye Cagub, setelah itu sirna.  Wong cilik semakin tidak berdaya.

Berbekal pengalaman di lupakan oleh para pembesar kini muncul ide.  Wong cilik itu tidak mau lagi dijadikan sebagai media guna  memenangkan cagub di pilkada. Saudara saudara yang berada dibawah garis kemiskinan ini protes, mereka nampaknya tidak suka lagi disebut sebagai komunitas wong cilik. Mereka saat ini lebih suka disebut orang kecil.   Entah apa alasan logis yang disampaikan. Mungkin wong cilik yang di singkat WC memberi nasib sial bagi mereka. Oleh sebab itu mereka lebih senang di panggil Orang Kecil yang disingkat OK.

Nah lebih mantab bukan ? Dari pada pakai WC yang selalu dikonotasikan tempat kotor , jorok dimana lokasi ini dijadikan sebagai  tempat membuang segala hajad .  Selain itu tidak terbantahkan pula bahwa WC  memiliki aroma tidak sedap alias bau menyengat.  Oleh karena itu dari pada pakai WC (Wong Cilik)  maka lebih baik mengguna kosa kata Orang Kecil di singkat OK.

Yes inilah pergerakan atau pergeseran budaya wong cilik menjadi orang kecil yang sebenarnya memiliki makna yang sama. Semoga dengan perubahan panggilan itu hidup mereka bisa menjadi lebih baik.  Tentu saja perubahan istilah ini bisa segera di gunakan oleh seluruh Capres dan turunanya (Cagub, Cabup, Cawalkot, dlisb) .  Hilangkan WC ganti dengan OK

Salamsalaman

TD ,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun