Mohon tunggu...
Thamrin Dahlan
Thamrin Dahlan Mohon Tunggu... Guru - Saya seorang Purnawirawan Polri. Saat ini aktif memberikan kuliah. Profesi Jurnalis, Penulis produktif telah menerbitkan 24 buku. Organisasi ILUNI Pasca Sarjana Universitas Indonesia.

Mott Menulis Sharing, connecting on rainbow. Pena Sehat Pena Kawan Pena Saran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apa Itu Islam Kaffah

8 Maret 2016   11:45 Diperbarui: 8 Maret 2016   12:44 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kami mempunyai kebun yang cukup luas di Tempino, walaupun selam bekerja di pertamina disediakan perumahan (woneng), namun Bapak dan Mamak lebih suka menempati rumah sendiri sambil merawat kebun yang banyak kolamnya dan pohon buahan serta sayur sayuran. Pernah suatu ketika sewaktu pulang dari Masjid Bapak membawa tiga buah durian. Ternyata durian itu beliau temukan dari kebun Mang Dung tetangga diatas rumah. Bapak menyuruh kami untuk mengantarkan tiga durian tersebut kepada keluarga mang Dung, karena menurut Bapak, kita tidak berhak atas durian jatuhan itu. Masya Allah Jujurnya Bapakku, padahal yang berlaku adat dikampungku, siapapun yang menemukan durian jatuhan berhak memiliki durian tersebut dan empunya kebun sebenarnya sudah ikhlas.

Dirumah ladang tempat kami tinggal, ada sumber air sumur yang sangat dingin, sejuk dan bersih. Sumber mata air sumur itu diketemukan Bapak sewaktu mulai membuka ladang yang terletak dibawah woneng kapal terbang. Sumur itu terletak dibawah rumah persis dekat pohon durian. Sampai saat ini sumur itu telah berfungsi sebagai fasilitas umum yang dimanfaatkan oleh masyarakat disekitar tempat tinggal kami. Anehnya, justru Bapak tidak mandi di sumur itu, Beliau mandi dan berwudhu di kolam bawah rumah.

Sumur yang tidak pernah kering, walaupun pada musim kemarau, sehingga sampai antri orang untuk mencuci dan mandi di sumur tersebut. Bapak selalu menganjurkan kepada kami untuk selalu mendahulukan orang lain menggunakan sumur tersebut, kami diminta untuk mengalah, karena menurut Bapak mereka dateng jauh jauh, sedangkan kita dapat mandi kapan saja. Pahala yang terus mengalir keBapak sebagai buah dari hasil usahanya, akan terus dan terus mengalir seperti mengalirnya air sumur yang tiada berhenti.

Pada tahun 1960 sampai 1980 untuk mencukupi dan memenuhi kebutuhan sehari hari Mamak coba coba berdagang dipasar Tempino, dan alhamdulillah dagangannya cukup laris sehingga berkembang perdagangannya kekalangan desa desa yang dekat seperti sungai Landai, Pal Tigoduo dan Pelempang atau sampai ke Jerambah Empat jalan menuju ke Bajubang. Setelah pensiun Bapak ikut membantu Mamak kekalangan.

Berniaga Cara Rasulullah

Didalam berdagang ini Bapak benar benar berniaga cara Rasullulah, terutama didalam menimbang barang apakah itu beras, gula, ataupun barang dagangan lainnya. Bapak sangat berhati hati jangan sampai timbangan barang yang akan di jual menjadi kurang, begitu pula pada waktu mengembalikan uang, jangan sampai kurang. Karena beliau yakin bahwa mengurangi timbangan adalah dosa dan dilarang didalam agama. Selanjutnya dari hasil dagangan itu tidak lupa Mamak dan Bapak membayarkan zakat seperti juga yang selalu Beliau ingatkan kepada kami anak anaknya. Masya Allah, alngkah amanahnya Bapakku.

Kenangan yang sangat berarti ketika aku masih kecil bersama adikku Yahya kami sangat senang bila bulan Ramadhan tiba, terutama menjelanghari raya idul fitri. Banyak masyarakat Tempino yang dateng untuk mempercayakan zakat fitranya kepada ulama ulama termasuk Bapak, wah banyak uang nih kata adikku Yahya, namun ternyata Bapak menyalurkan kembali zakat fitra itu kepada kaum duafa yang beliau sangat kenal dan tinggal disekitar kampung.

Tahun 1966, Bapak mengajak kami sekeluarga ke Bengkulu. Istilah orang tanah minyak adalah perlop yang dibiayai oleh pertamina. Berangkat melalui Palembang menjemput kakanda Husna selanjutnya dengan menggunakan kereta api berangkat ke Lubuk Linggau dan terus ke Bengkulu melalui kota Curup. Inilah kampung kalian kata Bapak namun karena pada waktu itu jalan rusak kami hanya sampai di Bengkulu, tetapi Bapak diantar oleh udo La (Abdullah) kemanakannya sampai jugake Seblat dengan jalan kaki. Karena biaya dinas Bapak sangat teliti sekali mengumpulkan kwitansi kwitansi biaya perjalanaan dan dengan kejujurannya tidak ada biaya lain yang Beliau mintakan. Ini sudah cukup kata Bapak. Setelah pensiun Bapak menghantarkan adiknya Pamanda Sabirin beserta Etek Inam dan Khairul ke Bengkulu. Dan ini merupakan salah satu saja bukti dari kecintaan Beliau kepada keluarganya.

 Di Cintai Cucu

Cerita lain dari cucu Almarhum ada juga . pada saat kenaikan kelas cucu Beliau anak anak dari kakanda Kahidir, Uda syakirin dan Uda Yasir sambil berlari lari membawa raportnya pulang, tetapi malah bukan langsung ke Ibu Bapaknya, namun mereka lapor dulu kepada datuk Haji Dahlan. Ada apa rupanya? Ternyata cucu ini secara rutin setiap habis menerima rapor, dateng ke datuk nya dulu. Tentunya ada hadiah bagi cucu tersayang dan Almarhum menguji cucu-cucu tersebut untuk melihat jam dinding di dalam rumah. Kalau jawabanya benar atau salah hadiah tetap saja diberikan. Allah Akbar.

Bekerja di pertamina, Bapak hanyalah menjadi seorang buruh kecil yang bekerja pada bagian pengeboran (explorasi), suatu pekerjaan yang berat karena harus memperbaiki dan merawat sumur sumur minyak (boran) yang ada disekitar Tempino. Namun dengan taqdir Allah dan Bapak tidak minta dipindahkan kebagian yang lebih ringan, suatu ketika Bapak mengalami kecelakan sewaktu bekerja dan setelah dirawat di rumah sakit Bajubang, Bapak dipindahkan kerjanya ke bagian saringan air diatas kantor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun