MUI Penjaga Umat
Lega rasanya mendengar secara langsung penjelasan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait BPJS Kesehatan. Rasa plong di dada itu bermula ketika menghadiri Seminar Menyikapi Fatwa MUI Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang diselenggarakan oleh Program Studi Kajian Timur Tengah & Islam Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Ditengah kesimpang siuran opini publik, M Cholis Nafis, Ph D dalam Kapasitas sebagai Ketua Komisi Dakwah MUI kembali menjelaskann bahwa tidak ada kata kata haram dalam Fatwa itu. MUI justru menyampaikan bahwa BPJS Kesehatan perlu ditata lagi terkait Akad.
Lebih lanjut Cholis Nafis mengatakan bahwa Penyelenggaraan Jaminan Sosial oleh BPJS Kesehatan terutama yang terkait dengan Akad, antara pihak tidak sesuai dengan prinsip syariah karena mengandung unsur gahrar, maisir dan riba. MUI mendorong pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syariah dan melakukan pelayanan kesehatan prima. Tidak lain maksud MUI selaku penjaga akidah dan figh selain untuk membetulkan sesuatu yang menyangkut hidup dan kehidupan umat Islam Indonesia apabila ditemukan hal hal tidak sesuai dengan prinsip syariah.
Ustazd kondang Cholil Nafis yang sering tampil di TV dalam acara ke agamaan memberikan pemahaman BPJS Kesehatan sebagai sesuatu yang harus di bersihkan. Berbeda dengan pemahamanan Nabi Nabi sebelumnya yang sangat keras terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan prinsip syariah. Seperti baju yang sebagian terkena najis maka pemahaman zaman dahulu baju itu harus di potong dan dibuang. Ketika era Nabi Muhammad SAW maka berlakulah hukum figh. Nabi memberikan contoh ketika menemukan sesuatu itu kotor atau najis. maka tidak perlu dipotong tetapi cukup dibersihkan saja dam selanjutnya bisa di pakai kembali. Inilah pengandaian yang sangat sempurna dan bisa di terima akal sehat sesuai kondisi BPJS Kesehatan saat ini.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/08/23/cn2-55d96d6f57977333048b4567.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
Selaku peserta BPJS Kesehatan saya dapat memahami latar belakang munculnya Fatwa MUI itu yang kemudian diplesetkan oleh media dengan istilah BPJS Haram. Untunglah pemerintah dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil tindakan cepat. Tindakan itu berupa upaya membahas secara komprehensif terkait temuan MUI tentang Akad Asuransi Kesehatan bersama MUI, BPJS Kesehatan, Dewan Syariah Nasional dan beberapa stake holders. Selanjutnya di bentuk TIM Kerja dengan batasan waktu tertentu guna mengeluarkan rekomendasi kepada Pemerintah sehingga masyarakat terutama umat Islam Indonesia mendapatkan kepastian hukum ketika menggunakan layanan kesehatan.
Seminar dilaksanakan pada hari Jum'at, 21 Agustus 2015 di Gedung Iasth Kampus UI Salemba di hadiri oleh puluhan peserta. Tampaknya kepedulian masyarakat dengan latar belakang heterogen terdiri mahasiswa, para ustazd dan orang awam sangat besar sesuai dengan kepentingan pribadi atau komunitas atas layanan BPJS Kesehatan. Moderator Guntur Subagya memberikan kesempatan kepada Dr Buddi Wibowo menyampaikan topik Peran Jaminan Sosial Bagi Kesejahteraan dan Pembangunan Nasional. Beliau mereferensi sistem asuransi di beberapa negara lain dan melihat bagaimana peran pemerintah dalam mensejahterakan rakyat melalui peningkatan kualitas derajat kesehatan masyarakat. Dr Buddi menganjurkan kepada BPJS Kesehatan agar memperjelas Status Akad, apakah seperti Asuransi Konvensional (transfer of Risk) atau berbentuk Hibah (takaful) atau seperti Tabungan (provident fund).
Asuransi bagi sebagian besar rakyat Indonesia masih merupakan barang aneh. Rakyat Indonesia tergolong masyarakat yang belum berada pada budaya Insurance Minded dibanding negara tetangga seperti Malaysia dan Singapore. Tentu saja kondisi per-asuransi-an itu berbanding lurus dengan pendapatan per kapita rakyat Indonesia yang masih sangat rendah. Boro boro untuk menyimpan duit (saving) untuk makan aja susah. Inilah kondisi faktual, Pada kelompok menengah keatas justru mereka lebih suka meng-asuransi-kan harta milik seperti mobil, rumah dan asset lainnya ketimbang mengasuransikan pelayanan kesehatan (askes) dan kematian (asuransi kjiwa) Kesehatan dan jiwa bagaimana nanti aja katanya, toh datangnya sulit diduga.
Pemerintah telah berbaik hati mengeluarkan Undang Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan tujuan memberikan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia dan jaminan kerja bagi buruh. BPJS Kesehatan secara Nasional mulai beroperasi tanggal 1 Januari 2015. BUMN dan rakyat yang tidak termasuk dalam komunitas PNS, TNI/Polri dan Pensiunan di anjurkan segera mendaftar sebagai peserta BPJS. Luar biasa tanggapan positif dari masyarakat. Dengan hanya membayar iuran Rp 26.500 perbulan mereka mendapat pelayanan kesehatan sesuai standar BPJS Kesehatan. Apabila tadinya masalah kesehatan terutama perawatan di Rumah Sakit menjadi momok karena harus menyiapkan uang muka untuk bisa dirawat kini rakyat dengan menggunakan kartu BPJS bisa dilayani sesuai dengan wilayah tempat tinggal.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/08/23/cn3-55d96da16e7a613407cee723.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
Euphoria masyarakat inilah yang perlu di tanggapi serius oleh BPJS Kesehatan dan MUI. Jangan sampai kesalah pahaman terkait Fatwa MUI menjadi kendala bagi rakyat ketika membutuhkan pelayanan kesehatan. Ustazd Cholil Nafis menjelaskan walaupun sebenarnya Fatwa MUI tidak mengikat secara formal kepada warga karena tidak ada unsur paksaan disana. namun bagi umat yang paham tentang prinsip syariah, Fatwa MUI merupakan ikatan moral penting terkait penyempurnaan aqidah dan figh. Oleh karena itu masyarakat menunggu kiranya Tim Kerja yang di bentuk OJK segera mengeluarkan rekomendasi agar posisi darurat bisa segera di akhiri.
Terakhir saya terkesan dengan paparan Bapak Muhammad Syakir Sula Pakar Asuransi Syariah. Diantara sedemikan banyak teori tentang asuransi konvensional dan asuransi syariah, Beliau mengutip satu hadist yang bermakna : Dari Abu Musa Al Asy’ari ra. dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “Orang mukmin itu bagi mukmin lainnya seperti bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain" ( Imam Bukhari, Muslim, dan An Nasa’i. ). Inilah hakekat dari Asuransi yaitu sifat kegotong royongan. Ibarat bangunan yang saling menguatkan, apabila satu jamaah sakit maka jamaah yang sehat memberikan bantuan kepada saudaranya. Bantuan berbentuk iuran bulanan itulah yang di kumpulkan oleh Pemerintah untuk di gunakan memberikan pelayanan kesehatan prima kepada yang membutuhkan.
Apakah nanti Pemerintah akan membentuk BPJS Syariah, atau Syariah merupakan Devisi tersendiri dari BPJS Kesehatan atau nanti hanya ada BPJS “aman” dari kotoran, semua diserahkan kepada ahlinya sesuai rekomendasi Tim Kerja kepada pemangku hajad. Secara berseloroh seorang peserta Seminar berucap, kalau ada Ajinomoto Halal, kenapa tidak nanti ada BPJS Halal. Jangan biarkan rakyat menunggu terlalu lama keputusan kedudukan BPJS Kesehatan, sementara penyakit tidak memiliki tolerensi kepada dimensi waktu.. Penyakit bisa datang kapan saja dan tiba tiba kepada peserta BPJS atau kepada non BPJS yang tidak terjamin.
Terakhir point yang ingin saya sampaikan disini bahwa sebenarnya rakyat tidak terlalu paham apa perbedaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah. Rakyat menyerahkan semua pembahasan kaedah ilmu pengetahuan itu kepada ahlinya, silahkan dibahas sedetil mungkin, amankan aqidah dan figh umat. Sementara itu pelayanan kesehatan jangan sampai terhenti, hendaknya peserta BPJS Kesehatan bisa meng - akses dengan mudah dimanapun dia berada. Peran MUI membersihkan “kotoran” BPJS Kesehatan patut di apresiasi umat dan berharap setelah segala sesuatu sudah sesuai dengan prinsip syariah hendaknya MUI mengeluarkan Fatwa Baru. Fatwa yang menganjurkan kepada umat agar bersegera menjadi peserta BPJS Kesehatan dengan dasar hukum hadis Nabi Muhammad SAW tadi yang terkait dengan posisi umat sebagai bagian terpenting dalam satu bangunan kokoh.
Keterangan : Dokumentasi foto dari Bapak M Cholil Nafis Ph D
Salamsalaman
TD