Perburuan ditulis tahun 1959 sedangkan Bumi Manusia tahun 1980-an. Yang pertama ditulis dari Penjara Bukit Duri dan yang kedua ditulis di Pulau Buru. Dan dua novel itu dituangkan ke dalam sinema oleh dua tangan sutradara berbeda. Richard Oh dan Hanung Bramantyo.
Ada alasan masuk akal jika novel Pramudya kali ini bisa difilmkan. Setidaknya, ini era kebebasan dan milenial. Yang tak lagi terkungkung oleh kepentingan politik, misalnya, Orde Baru. Mengingat karya yang paling banyak diterjemahkan ke bahasa asing, dan penulisnya mendapatkan royalti cukup banyak (dalam dollar pula).Â
Saya pernah mendengar langsung dari Pak Pram. Bahwa uang honor novel yang diterjemahkan ke beberapa bahasa asing itu bisa dibagikan di tengah keluarganya.Â
Di samping, "Blora jadi terkenal hingga ke dunia, padahal itu kota kecil," ujarnya tentang kumpulan cerpen Cerita dari Blora (1950). Â Blora, adanya di ujung timur Jawa Tengah berbatasan dengan Jawa Timur.
Di luar negeri pun bisa dapatkan film-film yang diangkat dari novel best seller semisal: The Firm (John Grisam) ), Da Vinci Code (Dan Brown), Brokeback Mountain (Annie Proulx), James Bond (Ian Fleming), Doktor Zhivago (Boris Pasternak), Harry Potter (JK Rowling) hingga naskah drama gubahan Wiliem Shakespeare yang berulangkali difilmkan dengan berbagai versi: Romeo and Juliet. Â Â
Persoalan dari teks yang diangkat ke layar lebar (sinema) bukan hanya semata teknis seperti komik Panji Tengkorak yang penulis terakan di awal. Namun ada tafsir seorang sutradara dalam menuangkan ke dalam sinema. Dan itu, hak. Sepenuhnya? Bisa jadi. Namun ada yang tidak. Beberapa novelisnya merasa tidak sreg dengan pemindahan ke media audio-visual.Â
YB. Mangunwijaya memprotes novel Roro Mendut karyanya yang difilmkan sutradara Ami Priyono. Terutama di adegan Roro Mendut dan Pronocitro yang bunuh diri berdua.Â
Karena bagi si penulis, itu dianggap sebuah pesimisme. Tak mendidik dan fatal. Sehingga ketika film jadi dan akan diedarkan ia meminta namanya tidak dicantumkan di dalam produksi film tersebut.
Ahmad Tohari pun tidak puas dengan penunjukkan pemain utama (Enny Beatrice) yang dianggap mis-casting. Peronggeng sebuah desa terpencil (Banyumas) kenapa berwajah Indo? Hasil  Ronggeng Dukuh Paruk secara artistik memang tidak tercapai secara maksimal.Â
Sebagai film yang diangkat ke layar lebar itu seperti kehilangan rohnya. Ketika remake dengan judul Sang Penari, hasilnya jauh lebih mendekati artistik yang ditulis penulis. Atau sebuah asa bagi penulisnya.Â