Rentang waktunya tak terlalu lama, sebulanan. Setelah di Cisarua, Jawa Barat kami beracara di TMII, Jakarta Timur. Kali ini konkret. Lebih, malah. Lihat backdrop, dan bacalah: Pelatihan Menulis & Tour ke Pulau Maju.
Kerja bareng PPI dan Click bukan ujug-ujug buneng, deh. Tentu. Â Dirancang secara cermat dan menimbang kebutuhan para blogger dan vlogger. ItuÂ
sebab, pada Jumat yang petangnya ada gempa dari arah Banten sana, kami menghadirkan nara sumber untuk bicara: Menulis Cerpen, Branding-Strategi di era digital dan menulis Ekonomi-Keuangan  yang sesungguhnya bisa seksi. Â
Isjet memaparkan perihal strategi blogger membranding dirinya. Foto: Dewi Puspa
Fanny Jonathans, teman lama sekali sudah seperempat abad lebih memaparkan eloknya menulis cerita pendek (cerpen). Di mana cerpen-cerpennya, lahir dari sebuah perenungan dan bahkan riset serius. Semisal, metro mini yang ditumpangi, ternyata di tengah jalan mogok. Kenapa? Kehabisan bensin. Padahal, penumpangnya hanya tiga orang termasuk dirinya. Jadi, tekorlah sang pengais tua dengan kemudi rongsoknya itu.Â
"Saya membagi sebagian uang hasil honor yang saya peroleh hari itu kepada bang sopir," kisah Fanny, putri Gerson Poyk penulis novel Sang Guru -- yang saya baca empat puluh tahun lalu saat masih di Pemalang kota kelahiran. Novel pemenang Buku Utama.
Fanny Jonathans. Dok Muthiah
Pada Isjet, ia yang pernah menjadi COO Kompasiana faham betul apa artinya strategi yang mesti dilakukan para blogger. Bahwa dirinya -- sebagai pekerja di era digital -- pun perlu membranding dirinya.Â
Menjadi image agar tak bercap (stigma) murahan dan menjaga kredibilitas. Sehingga bisa dipercaya oleh lembaga yang membutuhkannya sebagai "buzzer" atawa blogger. "Meski kadang perlu menghitung. Jika yang recehan kalau sifatnya jangka panjang, ya dihitung. Kan secara volume besarannya lebih," tandas Iskandar Zulkarnaen.
Nah, giliran Isson Khairul sahabat sejak 39 tahun lalu. Serius. Sejak sama-sama single, di mana TS menulis cerpen dan mengambil honor dengan penjaga gawangnya dia, baca: redakturnya. Tahun 1982.
Isson in action. Memesona. Dok. Muthiah
Sebenarnya Isson bukan (saja) piawai nulis ekonomi -- yang bisa disebut manusia langka di tengah hiruk-pikuk terutama di kolam Kompasiana. Kenapa Kompasianer nggak meliriknya? Itulah salahnya. Sehingga ia perlu membagi, "Bahwa nulis masalah ekonomi nggak harus yang rumit-rumit. Bisa masalah di Pasar Beringharjo, misalnya," tuturnya dengan runtut. Memesona. Disebut memesona, ketika acara berakhir, setidaknya ada tiga orang yang ketiga-tiganya TS kenal. Bahkan ada yang lulusan ekonomi dari Amaerika Serikat. Menyatakan ingin "belajar" menulis kepada Isson, dan dinyatakan kepada TS. Hehehe.
Yon Bayu Sekjen PPI dan TS Ketua. Dok. Muthiah
Ini serius, berarti. Ya, kami PPI dan Click pun serius untuk berbagi dalam soal beginian. Apa maksudnya? Jika para blogger yang (akan) menghadapi tantangan lebih keras di tengah  deras membanjirnya penulis era digital kini untuk berstrategi. Berstrategi dan membekali diri membaca celah-celah atawa ceruk-ceruk yang memang akan kian rapat dan padat.
Acara kumpul, katakanlah begitu acara entengannya, sesama blogger menjadi bukan sekadar mangan-ora-mangan kumpul. Tapi saling berbagi. Juga bertukar informasi. Serta berjejaring. Agar dunia di net punya networking yang istilah Isson: jangan menulis karena emosi belaka. Karena suka dan atau tidak suka, lalu menulis. Namun ada celah untuk menangguk secara tidak kemaruk. Elegan, persisnya. Â
Lihat Inovasi Selengkapnya