Tiba di pondokan ketika hari masih dipelototi sinar mentari dengan sengatan menembus ubun-ubun. Rambut yang sebagian memutih terjalarinya.
"Kita masih on time, Mas."
Aku mengangguk. Dan segera mencekal lengannya. Setengah menyeret, dan membuatnya memperkerap langkah kecilnya menapak jalan menanjak.
"Begini caramu memperlakukanku...."
Aku menyemburkan nafas. Berhenti dari langkah berikutnya, dan tersenyum. "Pintu sudah menunggu kita."
"Pintu selalu terbuka, ya. "
Aku tersenyum lagi. Kulihat ia mengatur nafas tuanya. Lalu kutuntun untuk mencapai pintu pondokan. Dan nanti aku akan mendapatkan secangkir kopi setengah manis hasil seduhan tangan manisnya. Disajikan sambil duduk di teras.
Angin gunung menggantikan suasana tenang. Memandangi wajahnya, menyeruput kopi dan singkong rebus yang dimasak dengan keterampilan tingkat tinggi. Kalau tidak, mana mungkin. Setelah perjalanan hampir tiga jam menembus kemacetan jalan ke pondokan kami.
"Kita jalan keliling, yuk."
"Masih akan merepotkanku?"
Namun ia menurut. Cahaya wajahnya menyemburat dengan senyum tipis. Ia menerima uluranku.
"Pelan-pelan, ya?" pintanya.
Aku tertawa. "Manalah mungkin, setelah jalan menanjak lalu mengganjar kebaikanmu selama ini dengan ketergesaan ...."
"Ya, iya ... aku bersyukur telah diberi panjang umur."
"Nikmat apalagi yang kauingkari, Dik Rani, Maharaniku?"
Ia memukul lenganku. Sambil tertawa yang menggema di sekitar bukit. Dalam remang senja yang jatuh pelan-pelan. ***
#rumpieskadoultah
#nurhasanah
#FFRTC
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H