Cerita Minggu Pagi 95
Cattleya ungu itu masih cantik bergoyang-goyang di sisi lima buah mangga yang menggantung. Aku senang, dan termenung kemudian. Karena ini lebaran, di mana kumandang takbir dan takmid bergantian. Angin menerpa pagi yang bersih.
Cekrek!
Aku memotretnya, cukup dari dalam beranda rumah dengan camera seluler. Sebelumnya kusetel zoom, untuk mendekati anggrek dan mangga arumanis itu.
Anggrek merah/ yang kuberikan padamu....
Sewaktu-waktu/ dia kan layu.... Â Â
Selain takbir dari kejauhan sahut-menyahut, jalan di depan rumah sepi. Selebihnya aku duduk di bangku kayu teras rumah, dan diam. Membayangkan orang yang sudah tiba di kampung halaman dan bersuka-ria. Ini lebaran. Membagi-bagi uang dan bisa sambil makan kupat, bukan lontong. Karena lebaran adalah kupat. Tidak yang lain. Sedangkan pasangannya, bisa apa saja. Termasuk opor ayam, sambal goreng, dan emping. Mungkin rendang.
"Aku bisa membayangkan kamu melonjak-lonjak, hm," gumamku sendirian. Masih. Entah sampai kapan.
Sinar matahari yang menyembur dan menimpa anggrek serta mangga itu kini mengabur. Karena ia sudah berada di atas keduanya. Aku masih duduk, sudah tidak ngemil kue kering tinggalan mereka yang pulang ke kampung meningggalkan aku sendirian. Di rumah. Yang tenang dan hening. Sepi.
"Kamu benar-benar tidak ikut pulang, Ayah?"