Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Strawberry Need Rain"

3 Februari 2019   06:01 Diperbarui: 3 Februari 2019   06:13 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Minggu Pagi 93

Bagian 3

Donny berlalu. Memasuki sebuah rumah menyerupai kantor. Tampak asri. Di atas bangunan tak seberapa besar itu, banyak tanaman merambat. Ujungnya menggantung di udara. Tak ubahnya rambut orang sebahu.

Kupandangi sekeliling perkebunan dengan warna merah menyala di antara daun-daunnya. Seperti baru melihat indahnya sebuah kebun buah warna merah yang bagian bawahnya meruncing. Ujung yang biasanya diemut, lalu digigit dan kemudian dikunyah-kunyah. 

Dimamahbiak di dalam rongga, digiling dengan irama ... ku. Hm. Membayangkan dan merasakan sebuah buah ranum. Yang dipetik langsung dari tanamannya.

"Makanlah dengan cara yang elegan ...."

"Begitu ya, Gan?"

"Ya, iya. Mbak Ella kan cantik...."

Idiiih. Aku menepis dan mengibaskan tangan. Khayalan kadang memang bisa muncul lebih cepat daripada kenyataan. Jika aku sekarang ada di kawasan Ciater dan kawasan kebun straberry yang luas dan ditangani oleh tangan Donny.

Lagi-lagi Donny. Tapi memang itu kenyataannya, seperti kemudian ada pengakuan jujur darinya.

"Tapi ini sebenarnya milik ramai-ramai. Milik beberapa warga yang dipercayakan kepada kami, kepada saya tepatnya. Untuk dikelola."

Aku manggut-manggut.

"Aku yakin, aku yakin."

"Yakin apa?"

"Donny mampu mengelolanya. Ini kawasan bagus, dan menjanjikan untuk sebuah bisnis kebun strawberry."

"Aaah ...."

"Jangan ah saja. Anda pastinya lebih tahu. Anda sudah hidup di sini dan sekarang mendapat amanah dari warga."

Donny garuk-garuk kepala. Saya mau bilang apa lagi? Kecuali kemudian, "Kita balik ke Teh Titin. Eh, kebun dan hotel milik Donny ...."

Donny tak keberatan. Juga saat kuminta untuk yang membawa mobil.

"Pelan-pelan saja, ya? Sambil ngobrol."

Aku mengangguk pasti.

"Seharian sampai di tempat Teh Titin juga nggak apa," kataku. Cuma itu hanya dalam hati.

Hm.

Dan inilah saat aku menghirup dan meyakini ruap harum apa yang ada pada lelaki di sampingku. Lelaki keren di tengah padang dan wangi strawberry. Kalau saja aku tidak direm, mungkin sudah kusandarkan ke lengan kiri Donny. Lelaki Bandung yang punya kumis khas, mengingatkan pada Jaka Bimbo menjadi trend dan digilai mamaku kalau bercerita tipe laki-laki di zaman jadul. 

Ya, anggota group musik balada yang lagunya kusenandungkan di kamar mandi tadi. "Waktu Tuhan tersenyum lahirlah, Donny ...," desisku kuplesetkan, dan sangat hati-hati. Agar tidak menjadi humming yang tertangkap telinga Donny. "Tapi kalau Donny dengar emang salah?" Hihihi.

Mobil berbelok ke kanan, dan kami langsung menuju ke resto atas permintaan Donny. Untuk melengkapi janji mentraktirnya karena kesalahan bertabrakan di depan kamar yang kuinapi.

"Selamat siang ...." sapa Karta yang menggantikan Titin di resto.

Donny mengangguk. Aku menelengkan kepala kepadanya.

"Mau pesan apa?"

"Enaknya apa?"

"Ini sudah siang ...."

"Setelah pagi."

Aku mengikik. Donny pintar bermain kata-kata sekaligus logika. Ah, kalau tidak pintar, mana dipercaya untuk mengelola kebun yang entah berapa luas itu. Termasuk tempatku menginap dan resto yang tak banyak tamu. Mungkin para orang sepertiku sedang bertualang ke Tangkuban Perahu atau Bosscha. Atau naik kuda.

"Naik kuda ..."

"Minum naik kuda?"

"Ih."

Donny tertawa.

"Kupesankan saja, ya?"

Aku mengangguk.

"Yoghurt saja."

"Boleh."

"Ini pasi untuk siang sebelum makan siang."

Aku mengiyakan.

"Itu harganya berapa?"

Dia menggigit bibir bawahnya.

"Tidak terkira."

Aku mengkeretkan kening.

"Nggak ada angkanya?"

"Karena, saya yang pesan dan ini kupesankan untuk orang yang membuatku bersalah, sehingga untuk itu tidak ada angka. Yang ada nilai ....yang ada sebuah kejujuran ....yang ada sebuah penghormatan...."

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Takjub. Donny seperti sedang membaca puisi: sebuah minuman tanda kesalahan dirinya.

"Donny pasti suka puisi."

Ia tertawa.

"Bener, kan?"

"Kan."

"Yang bener atuh."

Tawanya panjang. Hingga kemudian melirih. Karena menggantikan dengan sebuah lagu.

Melati dari Jayagiri

Kuterawangkan keindahan.

Mungkinkah aku ....

Donny memetik gitar pada malamnya, menyenandungkan lagu Bimbo. Sebuah lagu yang kata mamaku terindah di seluruh jagad ini.

"Di mana burung-burung yang mendengarnya pun berhenti sejenak. Menyapa penyanyinya dengan kata-kata paling puitis."
"Sebegitunya, Ma?"

"Ya."

"Ya?"

Mama mengangguk. 

"Karena ayah yang menyanyikan, sewaktu ia kuliah di Ganesha."

"Bernama Kartasasmita..."

Aku duduk di samping Donny, mengenakan syal warna merah tua. Seperti mamaku sekian tahun lalu. Saat aku belum nongol ke Bumi Parahyangan melalaui kelelakian Kartasasmita.  

(Bersambung)

Denpasar, 3/2/19

* * *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun