Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | "Strawberry Need Rain"

27 Januari 2019   06:17 Diperbarui: 27 Januari 2019   07:09 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: dok. paket bandung

Bagian 2            

Cerita Minggu Pagi 92

Sebenarnya tak seberapa strawberry yang bisa kusesap. Ritual di kebun dan memilah-milah mana yang mesti dipetik itulah yang mendatangkan sensasi. Sambil membayangkan sebagai tuan puteri berada di taman yang aman dan nyaman karena dijaga para pengawal. Ah, ini kelewatan. Imajinasi seorang yang sedang menghilangkan penat, rupanya seperti ini. Apalagi berada di kebun strawberry dan baru saja bertemu dengan seorang lelaki yang lebih tepat disebut tuan. Itu kalau dilihat sosok dan penampilannya.  

Dari kejauhan kulihat Titin sedang asyik berbincang dengan Donny. Mereka seperti asyik benar. Entah pembicaraan macam mana? Lho, kok aku merasa gerah? Bukankah mereka sama-sama pegawai yang setidaknya memungkinkan untuk berbicara dan bekerja sama dalam lingkungan yang sama. Satu manajemen.

Aku melangkah ke arah mereka, entah terseret alasan apa. Namun sebelum tiba di tempat mereka, Donny bergerak. Lalu ia menuju mobil bak terbuka. Dan tak lama menghilang setelah melewati pintu gerbang kebun ini.

"Donny ke mana, Teh Tin?" tanyaku ketika tiba di depan Titin. Aduh, kok terlepasan? Telanjur. Basah. Sekalian saja kuyup. "Ada kerjaan, ya?"

Titin menatapku heran. Namun ia segera menyunggingkan senyum manisnya.

"Ya, dia ke kebun sebelah selatan sana. Kebun satunya lagi yang besar."

Manggut-manggut aku.

"Dia lagi lebih sering di sana. Mungkin karena belum dikenal seperti yang di sini."

"Ya, benar. Kalau yang di sini, kan saya sudah mengenal beberapa waktu lalu."

Lalu Teh Titin dengan senang hati bercerita tentang kebiasaan di sekitar Lembang. Ya makin banyak warga tertarik dengan berkebun buah warna merah itu. Mengingat bisa dilakukan oleh petani yang ladangnya terbatas. Di samping strawberry bisa diolah menjadi selai strawberry, ice cream, juice atau lainnya.  

"Atau dijual eceran di tepi jalan," kata Titin bak seorang juru bicara bagi warga Lembang yang masuk wilayah Bandung Barat itu.

"Gitu, ya Teh?"

"He-eh."

Aku pun mengakuinya. Kenapa juga berani seorang diri ke tempat ini? Kalau tak  dikelola secara baik, benar dan enak untuk dikunjungi, pasti aku tak betah. Tepatnya tak berani. Meski kebun-kebun strawberry sekarang di sini makin banyak, aku memilih ke tempat Teh Titin bekerja. Tempatnya yang nyaman dan tidak hiruk-pikuk. Pas untuk seorang pelarian dari kraudit Jakarta, sedangkan Bandung saja sudah macet. Aku lebih memilih Lembang, di mana pernah diciptakan lagu Melati dari Jayagiri oleh Iwan Abdurrahman, dan dinyanyikan Bimbo.

Apalagi sekarang menemukan Donny. Lelaki berkumis, dan seterusnya. Maksudnya menarik, meski diawali dengan tabrakan. Apa ini yang disebut sengsara membawa nikmat? Hadeuh.  

"Aku jadi ingin sering-sering ke sini. Ini karena tangan-tangan kreatif. Bisa menjual buahnya dan menjual suasana. Iya kan?" kataku pelan seperti pada diri sendiri.

"Kenapa memang, Mbak Ella?" tanya Teh Titin ingin menegaskan, menyadarkanku.

Kugelengkan kepala. Masak terus terang. Apalagi kalau akan menyakitkannya, kalau dikira aku menyerobot Donny.

"Tadi katanya Mas Donny bertabrakan dengan Mbak Ella, ya?" tanyanya, mengagetkan.

Aku melongo. Sungguh ini tidak elok. Apalagi kalau bisa terbaca secara tepat oleh Titin. Wajahku saat itu merah seperti straberry.

"Dia cerita?" aku mencoba bertanya balik. Menyembunyikan rasa maluku.

"Ya."

Kali ini aku tak dapat menahan diri, kutempeleng kepalaku sendiri. Plak! Celaka.

"Ya, ya. Gitulah. Malah kemudian dia kusuruh membersihkan kamarku."

"Ha!"

"Kenapa? Dia kan room service eh, karyawan sini, kan? Ya sebagai hukumannyalah."

Kulihat Titin tidak nyaman. Galau.

"Waduh kurang ajar dia kalau cerita yang nggak-nggak. Apalagi kalau dibalik-balikin, diputar balik."

"Nggak. Dia nggak bakal berbuat seperti itu. Apalagi kepada tamunya."

Aku senang juga mendengarnya. Hanya aku menjadi iseng.

 "Kalau begitu, aku mau ke kebun sana. Akan kutegur dia. Di mana alamatnya?"

Wanita muda mungkin lebih muda setahun-dua dariku itu tampak ragu. Meski akhirnya memberi gambaran kebun strawberry di selatan Ciater itu. Walaupun wajahnya tampak kurang ceria seperti tadi saat bercerita tentang orang-orang Lembang yang mulai berkebun strawberry. "Jangan bilang dari saya, ya Mbak?"

"Beres!"

Kuluncurkan mobil ke arah selatan. Kulewati tikungan Tangkuban Perahu. Kulampaui Ciater yang semalam kukunjungi untuk berendam air hangat di sana. Dan tak lama terhampar pemndangan padang luas. Di mana tertera sebuah ranch dan dari kejauhan ada kuda. Mungkin ada ringkiknya. Hanya samar-samar kudengar, saat jendela kaca kuturunkan. Menikmati semilir angin pagi menjelang siang.

Laju mobil mulai kepelankan. Hamparan strawberry mulai kulihat. Di mana dia?

"Sriiit ...!" aku mengerem mobil ketika kulihat Donny sedang berbincang dengan beberapa orang. Sementara sebagian mengangkut buah merah manis-anis asam yang ada di keranjang ke bak mobil yang tadi dikendarai Donny.

"Selamat siang ...," sapaku, seolah-olah tidak untuk dipersalahkan ketemu dengannnya.

"Oh, Mbak Ella. Selamat pagi. Ini masih good morning, masih pukul sepuluhan. Eh, malah kurang," sambutnya seraya melihat jam dari HP-nya.

Sialan! Dia kenapa jadi lebih Ok, ya? Seperti lebih pede. Jarak hanya berbilang sepelemparan batu dari hotel tempatku menginap dengan Kebun Strawberry di selatan Ciater, kenapa membuatnya berubah?

"Ada yang bisa saya bantu? Bagaimanapun, Mbak Ella tamu di tempat kami," katanya seperti ingin menetralisir keadaan saltingku. Mana enak memburu orang yang diburu secara diam-diam, dan kemudian menjadi salah tingkah karena ketahuan? Sangat tidak Ok.

"Sedang apa di sini, Don?" sapaku enteng. Dienteng-entengkan.

"Ya, bagaimana sih seorang ...."

Seorang lelaki mendekati Donny, dan berkata yang jelas kudengar.

"Maaf, Gan! Sudah selesai semua," kata salah seorang yang tadi mengangkuti keranjang berisi strawberry ke bak mobil.

Donny tampak kikuk. Lalu memberi isyarat, agar menyingkir dari pembicaraan kami.

"O, o. Ketahuan sekarang ...."

"Apa, Mbak Ella?" Donny tampak gelagapan.

"Kalau Donny ...."

Dia pasang senyum dulu. Lalu, "Ya, beginilah saya, Mbak Ella."

"Tak begitulah. Ok. Senang saya dengan Anda yang sebagian sudah kudengar dari Titin." Aku setengah berbohong.

"Emm, soal apa? Omong apa saja dia?" tanya Donny kurang senang.

"Santai saja. Dan jangan salahkan dia. Kan saya juga punya andil salah. Dengan tabrakan dan memperlakukan juragan Donny ...."

Donny senyum-senyum dan menggeleng-gelengkan kepala. "Ok, Ok. Sebagai acara perdamaian ini, saya mentraktir Mbak Ella dengan makan strawberry sepuasnya. Silakan."

"Ok juga. Dengan satu syarat."

"Dengan senang hati akan kupenuhi, kalau memungkinkan."

"Pasti."

"Sebentar, Mbak Ella," katanya. Lalu ia memerintahkan di antara pegawainya untuk membawa mobil yang sudah berisi strawberry. "Tang, strawberry kauantar ke Dago. Nanti saya telepon Pak Dadang."

"Siap, Gan."

Aku pun menyebutkan syarat itu ke Donny. Aku hanya minta dia menemani selama melihat-lihat Kebun Strawberry yang memang lebih besar daripada yang selama ini kukunjungi dan kuinapi. Sedangkan di sini hanya kebun strawberry. Namun luas.

"Baik, Mbak Ella...."

"Kok panggilnya ...."

Donny monyong lucu. Lugu.

***

(Bersambung)

https://www.kompasiana.com/thamrin-sonata/5c43bf1043322f4b4d7fca44/strawberry-need-rain

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun