Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Tersesat di Macao, ''Amazing!''

27 Desember 2017   23:28 Diperbarui: 28 Desember 2017   12:17 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lima jam terbang, dan mendarat di tempat ini tak membuat jetlag. Jarum jam pun diputar, dua kali enam puluh menit lebih awal dari Jakarta. Dan, kini terhampar sebuah lanskap kemilau laut dengan taburan seribu kunang-kunang.

Macao, aku datang!

Teriakan norak bak anak kecil, tak terhindarkan. Aku tersesat di tempat nan memukau. Hingga memasuki hotel, yang pertama kali disibak tirai kamar lantai cukup tinggi. Kupejamkan sebentar, sambil membatin dan mengancam: apakah siangnya seindah ini?

Aku tersesat

Ya, aku tersesat. Di Macao. Bagaimana mungkin berada di ketinggian dua puluh meter lebih, sejauh mata dilemparkan, eh pandangan dibuka adalah lanskap bak lukisan Basuki Abdullah, sang pelukis mooiindie. Berada di Sky Walk, ngeri-ngeri sedap, hamparan gundukan bangunan dan sebagian mencuat seperti di depan lukisan menakjubkan. Ini rupanya arti peninggalan Portugis enam ratus tahunan lalu. Hingga tak terhindarkan perpaduan budaya barat dan timur yang menobatkan Macao sebagai Situs Warisan Dunia dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Dengan melihat Macao dari atas, aku seperti berada di negeri liliput yang elok. Rasanya pengin terbang mengelilinginya, dan mendekati satu per satu bangunan yang ada. Apa benar, seindah dipandang dari kejauhan? Atau mendekati jembatan yang membentang dengan berenang. Akan lain cerita dan kesannya, tentu. Namun dengan melihat birunya permukaan air dan matahari menyengat, cukup merasakan musim semi saat itu di suatu Negara ini. Selain tiga musim lain yang terjadi di Macao: dingin, panas, dan gugur.  

Sebagai wilayah dengan subtropis, cuaca bisa akrab bagi kita dari Jawa.  Sepanjang tahun, suhu rata-rata 23 derajat, kayak di Malang, Jatim. Ke Macao yang asyik sih pada Oktober-Desember saat udara masih hangat dengan kelembaban rendah. Januari-Maret sudah masuk musim dingin tuh. Sedangkan Mei-September giliran musim panas. Tapi nggak seperti Jakarta atawa Surabaya-lah.

Dan kebiasaan baik, kalau mendatangi tempat baru adalah masuk ke Museum Macao. Nah, dari situlah bisa mendalami daerah kunjungan. Nggak cuma yang kasat mata. Namun mengerti esensi: apa sih sebenarnya perbedaan kota ini? Apa yang khas? Di mana keunikannya? Dan hal-hal yang mencengangkan kemudian.

Di dalam museum ini, ada serenteng "keterangan" yang membedakan Macao dengan Jakarta, hehehe. Selain fisik yang jelas tak sama sebangun dari tempat lain. Pun kalau kemudian di sini ditemukan seperti Planetarium yang ada di TIM, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Memang, kalau memandang angkasa dari tempat ini akan berbeda? Ya, sensasinyalah, lain! Mentang-mentang di Macao, apa? Hingga langitnya beda, hahaha.

Yang menjadi mascot dan nggak boleh tak ditengok, tentulah Ruins of St. Paul Church yang berlokasi di Company of Jesus Square adalah reruntuhan Gereja Mater Dei dan reruntuhan St. Paul's College yang berlokasi di dekat gereja. Gereja Mater Dei dibangun antara tahun 1602-1640. Ajaib, walau  hancur dilalap api pada tahun 1835 (di Indonesia pasca Perang Diponegoro tuh) dan, masih  menyisakan bagian fasadnya saja.

Atau mau ke Pulau Taipa? Ya, mestinya dipersilakan alias nggak dilarang. Untuk membuktikan bahwa ada  sebuah pulau yang terdiri dari rumah penduduk, pertokoan, bangunan modern. Juga ada berdiri  bangunan klasik khas Eropa.  Lalu bisa disebutkan sejumlah nama lagi, yang kalau dijelajahi tak habis dalam sehari. Kenapa? Mata perlu menyelidiki secara seksama dan sepuasanya. Ya meski luas wilayahnya cuma 115,3 Km2.

Namun yang membedakan lagi Macao, adanya tempat balap motor. Persisnya sirkuit Guia. Ini yang bisa menyedot para mania di arena balapan yang memacu adrenalin. Untuk itu, aku nggak perlu menengok. 

Cukup tahu dari kejauhan, apalagi kalau tidak sedang ada balapan motor yang suaranya khas dan memekikkan telinga. Atau mending berteriak sendiri dengan terjun dari ketinggian seratus meteran dengan Bugy Jump?

Sedangkan tempat yang perlu didekati, seperti yang disorongkan dalam berbagai catalog. Atawa di zaman saiki bisa diintip lewat situs yang menyebutkan nama Macao. Dijamin mata melotot dan pengin segera terbang ke sana. Jadi nggak percuma. Walau dijajah Portugis tahun 1557 -- hampir sama seperti kita pada 1551-an bangsa itu datang -- negeri ini bergegas menjadi negeri penuh pesona.   

Makan yang enak dan Halal

Sebenarnya lidahku ini sulit untuk bersilat dengan yang namanya sambal Jawa atau Sunda. Itu untuk menyebut bahwa soal selera, payah memang inyong (nah, ketahuan kan aku dari mana?) ini. Namun ketika nemu petunjuk adanya salah satu resto halal adalah the Taste of India di Macau Fisherman's Wharf, perlu dicoba. Nah, di area Senado Square, ada Loulan Islam Restoran, yang berada di R-Do Theatro. Juga beberapa resto yang menggunakan nama berbau Islam, menenteramkan hati. Termasuk, misalnya resto India atawa Thailand. Apalagi kalau singgahnya ke Loly Indonesian Food. Kloplah.

Untunglah, walau tersesat raun-raun di Macao, taklah perlu lupa dengan salat. Lima kali sehari, walau di tempat-tempat yang aneh. Sebut saja begitu. Lha, namanya saja sebuah kota yang mayoritas non-Islam. Namun teringat seorang Kompasianer Taufiek Euis yang pernah menuliskan perihal Masjid Macao. Bahwa di Kota Judi, ada kok masjidnya. Namanya  Mesquita de Macau. 

Masjid di Macao
Masjid di Macao

Menggambarkan Macao, memang tak cukup dengan seribu kata-kata. Lalu? Ini dunia baru dengan memindahkan gambar secara cepat -- lewat HP. Nggak perlu memproses film dengan dicuci (eh, nanti pakai digosok segala), dan dicetak. Sekali jepret, diunggah ...kabarkan ke kerabat di kampung yang malam-malamnya ada banyak kunang-kunang. Seperti di kampungku di Jawa sana.

Stigma Macao sebagai tempat orang berspekulasi dengan uangnya, sebagai Las Vegas-nya Asia tak sempat masuk ke ingatan. Terlalu banyak pemandangan indah sayang untuk dilewatkan. Karena tiga hari di sini, waktu seperti berlalu terlalu cepat. Malam dengan taburan kunang-kunang dan siang dengan bangunan serta hamparan birunya laut.

Hanya satu kata untuk Macao: Amazing!

***      

Foto-foto: Taufiek Uies, Getty Image, Catalog

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun