Lima jam terbang, dan mendarat di tempat ini tak membuat jetlag. Jarum jam pun diputar, dua kali enam puluh menit lebih awal dari Jakarta. Dan, kini terhampar sebuah lanskap kemilau laut dengan taburan seribu kunang-kunang.
Macao, aku datang!
Teriakan norak bak anak kecil, tak terhindarkan. Aku tersesat di tempat nan memukau. Hingga memasuki hotel, yang pertama kali disibak tirai kamar lantai cukup tinggi. Kupejamkan sebentar, sambil membatin dan mengancam: apakah siangnya seindah ini?
Aku tersesat
Ya, aku tersesat. Di Macao. Bagaimana mungkin berada di ketinggian dua puluh meter lebih, sejauh mata dilemparkan, eh pandangan dibuka adalah lanskap bak lukisan Basuki Abdullah, sang pelukis mooiindie. Berada di Sky Walk, ngeri-ngeri sedap, hamparan gundukan bangunan dan sebagian mencuat seperti di depan lukisan menakjubkan. Ini rupanya arti peninggalan Portugis enam ratus tahunan lalu. Hingga tak terhindarkan perpaduan budaya barat dan timur yang menobatkan Macao sebagai Situs Warisan Dunia dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Dengan melihat Macao dari atas, aku seperti berada di negeri liliput yang elok. Rasanya pengin terbang mengelilinginya, dan mendekati satu per satu bangunan yang ada. Apa benar, seindah dipandang dari kejauhan? Atau mendekati jembatan yang membentang dengan berenang. Akan lain cerita dan kesannya, tentu. Namun dengan melihat birunya permukaan air dan matahari menyengat, cukup merasakan musim semi saat itu di suatu Negara ini. Selain tiga musim lain yang terjadi di Macao: dingin, panas, dan gugur. Â
Sebagai wilayah dengan subtropis, cuaca bisa akrab bagi kita dari Jawa. Â Sepanjang tahun, suhu rata-rata 23 derajat, kayak di Malang, Jatim. Ke Macao yang asyik sih pada Oktober-Desember saat udara masih hangat dengan kelembaban rendah. Januari-Maret sudah masuk musim dingin tuh. Sedangkan Mei-September giliran musim panas. Tapi nggak seperti Jakarta atawa Surabaya-lah.
Dan kebiasaan baik, kalau mendatangi tempat baru adalah masuk ke Museum Macao. Nah, dari situlah bisa mendalami daerah kunjungan. Nggak cuma yang kasat mata. Namun mengerti esensi: apa sih sebenarnya perbedaan kota ini? Apa yang khas? Di mana keunikannya? Dan hal-hal yang mencengangkan kemudian.
Di dalam museum ini, ada serenteng "keterangan" yang membedakan Macao dengan Jakarta, hehehe. Selain fisik yang jelas tak sama sebangun dari tempat lain. Pun kalau kemudian di sini ditemukan seperti Planetarium yang ada di TIM, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Memang, kalau memandang angkasa dari tempat ini akan berbeda? Ya, sensasinyalah, lain! Mentang-mentang di Macao, apa? Hingga langitnya beda, hahaha.
Yang menjadi mascot dan nggak boleh tak ditengok, tentulah Ruins of St. Paul Church yang berlokasi di Company of Jesus Square adalah reruntuhan Gereja Mater Dei dan reruntuhan St. Paul's College yang berlokasi di dekat gereja. Gereja Mater Dei dibangun antara tahun 1602-1640. Ajaib, walau  hancur dilalap api pada tahun 1835 (di Indonesia pasca Perang Diponegoro tuh) dan, masih  menyisakan bagian fasadnya saja.
Atau mau ke Pulau Taipa? Ya, mestinya dipersilakan alias nggak dilarang. Untuk membuktikan bahwa ada  sebuah pulau yang terdiri dari rumah penduduk, pertokoan, bangunan modern. Juga ada berdiri  bangunan klasik khas Eropa.  Lalu bisa disebutkan sejumlah nama lagi, yang kalau dijelajahi tak habis dalam sehari. Kenapa? Mata perlu menyelidiki secara seksama dan sepuasanya. Ya meski luas wilayahnya cuma 115,3 Km2.