Cerita Minggu Pagi 59
Aku menghubunginya dengan telepon genggam sembari duduk di kursi besi dicat cokelat mini market di pinggiran jalan tak lengang. Langsung ada jawaban.
"Ke mana saja?"
Plak! Aku menempeleng jidatku.
"Udah nggak kangen, ya?"
Susulnya. Membuatku ingin menempeleng jidat lagi, tapi kuurungkan. Serangan seperti itu biasa datang dari sepasang bibir gendewa terentangnya. Biasanya diringi dengan alis diangkat ke atas, masak turun? Aku ingin menjawabnya, seperti biasa. Namun tersela oleh suara nyanyian.
"Mother how are you today ..."
Ini yang kusuka darinya. Romantil, romantis dan sentimentilnya kerap berbarengan. Jika kali ini dengan lagu itu, mungkin ia sedang ingin menjadi ibu pada Hari Ibu. Padahal, ia belum kunikahi. Kucium, sudah. Ya bibirnya yang ... tak merah merona benar.
Mestinya aku menyusulnya ke Bandung. Di Dago. Pagi ini. Biar bisa carfreeday dan aku menyorongkan sepotong es krim ketika ia akan bercuap-cuap dengan kekesalannya. Klep. Akan diam dia. Sayangnya, ia jadi asyik dengan benda yang dilamot-lamot.
"Jadi?
"Abang datang jam berapa?"
Ini yang tak kusuka. Seperti menjeratku dalam kenikmatan untuk merambah jalan berderet-deret mobil pada libur panjang kali ini. Bandung mana yang tak macet pada saat libur kali ini. Sedangkan aku masih duduk di mini market untuk merehatkan pikir.
"Pokoknya!"
Dan HP dipukul darinya. Mati.
Apa aku tega? Ya, tidak. Aku takut ia memenggal cinta dan rindunya. Berbahaya itu.
"Ya, aku terbang ke Dago!" sahutku dengan mulut megap-megap.
Enam jam kemudian aku tiba di Bumi Parahyangan. Aku memintanya untuk ketemuannya di resto Sunda seberang terminal bis Leuwi Panjang.
"Jangan banyak tanya!"
"Kok ngancem, sih?"
"Atas nama rindu. Yang tinggal setangakai."
Ia menurut. Dan memberengut. Karena ia datang lebih dulu, duduk di sudut. Hanya memesan jus sirsak. Yang kental putih.
"Sebel ...!"
Aku cengengsan.
"Senang betul, kan?"
"Ih!" ia mencubitku.
Aku menyorongkan setangkai bunga merah basah segar yang kubeli di perempatan jalan Bandung sebelum memasuki terminal. Ia tercengang. Mengembangkan senyumnya. Menerimanya. Genaplah rinduku. Kami.
Pengamen abadi di depan pintu resto Sunda itu kali ini menyanyikan lagu:
Kukenang dirimu
Waktu kau di sampingku
Kauucapkan janji setiamu
Oh, sayangku ....*
*** Â
*lirik lagu Badai Bulan Desember (AKA Group, dinyanyikan Ucok Harahap)
AP, 24/12/07
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H