Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku Juga PKI

24 September 2017   05:52 Diperbarui: 24 September 2017   06:32 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Minggu Pagi 48

 

Cerita tentang PKI menyundul ke permukaan. Aku bingung. Maklum karena aku masih muda. Tak familiar dengan singkatan PKI yang kemudian membuatku mengernyitkan kening. Memangnya makanan apa itu. Kue lapis?

"Kue lapis itu lho. Yang ...."

"Berlapis-lapis warnanya. Merah-putih-hijau."

"Ya."

"Ya, apa?"

"Ya yang kamu bilang itu, Yank ...."

Aku menutup benda yang selalu menghubungkan aku dengannya. Yang kerap aku memanggilnya Yank. Ia pun memanggilku Yank. Semacam berbalasa pantun. Agar nyambung kemesraan yang kerap cepat berlalu seiriing dengan habisnya pembicaraan di henpon.

"Jadi, kamu pengin kue lapis?"

"Mau. Apalagi kalau kamu Yank yang nyuapin."

"Boleh. Jangji ndak nggigit jari, ya?"

"Dikulum aja?"

Jangkrik. Ia kerap membuatku ingin terbang ke selatan kotaku. Hanya untuk menatapnya. Dan kalau memungkinkan aku menyodorkan lengan, dan segera digamitnya. Ya, jalan bergandengan di siang bolong dan anggap saja itu sebuah malam berpendar rembulan purnama kalau perlu. Karena pernah ia melakukan itu, sambil duduk di tepian kolam dengan bulan bertengger di atas menjadi saksi. Kaki kami saling mencelupkan di air yang dingin, di suatu tempat.

"Kamu lagi ngapain, sih?"

"Ih. Ya natap kamu Yank."

Ya. Benar. Kami sedang saling tatap di henpon berkamera. Video call. Ia di sana senyam-senyum. Berulang kali mencoba mematut-matut diri. Seolah wajahnya akan berubah menjadi lebih cantik kalau ia membetulkan alis tebalnya. Bibir dikerjap-kerjapkan. Dan seterusnya. Sambil menggoda memeletkan lidahnya.

"Gimana kalau kita ketemuan?"

"Ih!"

"Ih, apa?"

"Lha ini ketemuan."

"Ketemuan pipimu dengan pipiku."

"Kuno, ah."

"Kuno?"

"Jadul."

"Jadul?"

"Ya."

"Ya, apa?"

Ia melet-melet lagi.

Aku garuk-garuk kepala.

"Awas kutunya loncat, Yank...."

"Ah."   

"Rambutmu udah panjang tuh."

"Kan kamu yang minta. Biar diuyek-uyek jari-jemarimu."

Ia tertawa. Khas mojang. Ah, ndak tahulah. Apa benar semacam itu tawa mojang di tanah Sunda sana.

"Kau memang PKI."

"Hah."

"Aku ding."

"Hah! Jangan main-main, atuh."

"Iya, aku Pancen Kangen Ih."

"Ooooo ...! Kamu Jawa sih."

Aku garuk-garuk kepala. Dengan kamera kuarahkan ke kucing putih yang tiduran di dekatku.

***

AP, Minggu 24/9/17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun