Orang-orang tak terkejut ketika mendengar Efzet jatuh pingsan bergedebuk di kantornya.
"Bahkan perut gendutnya dulu yang menghantam lantai. Masih untung berkarpet tebal merah."
"Gak berdarah?"
"Hidungnya."
"Hidungnya?"
"Mulutnya."
"Mulutnya?"
"Ya."
"Pantas. Mulutnya kan kayak comberan."
Bersliweran orang komentar tentang lelaki berkacamata itu, lelaki yang merasa punya kesaktian dengan mulut embernya. Berkekuatan di perut gendutnya. Dengan kacamata penajam ke luar untuk komentar-komentar berbusa air liurnya.
Efzet mati!
Judul itu berhamburan di media-media. Komentar-komentar dari kerabat membuncah. Semuanya bernada prihatin dan sekaligus menuduh pihak-pihak yang tidak suka akan ocehan recehan Efzet.
Di komentar sebaliknya, lebih banyak. Yakni orang-orang yang membaui kata-kata lacur dari busa mulut comberannya.
"Lebih baik mati."
"Kok?"
"Lha, selama koma itu kan seluruh ruangan busuk menguar dari tubuh gendutnya."
"Oh. Yayaya. Kau akan melayat?"
"Pikir-pikir."
"Kamu kan dulu yang sering mendapat uangnya?"
"Salah. Ini dia uang darinya yang kukumpulkan. Akan kuserahkan kesana. Kalau mungkin sih dimasukkan ke dalam liang lahatnya. Berbarengan dikubur."
"O. Jadi kamu melayat hanya akan mengirimkan uang haram itu."
"Persis. Yuk, temani aku ke sana!"
Keduanya berjalan kaki. Menyeberangi jalan besar. Menuju rumah bundar beratap hijau.
***
AP, 16/9/17 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H