Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Setnov Mati

12 September 2017   15:17 Diperbarui: 15 September 2017   06:28 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pengkeramatan-kubur

Berita menggelegar itu menyibak terik siang panas langit Jakarta. Setelah ia yang dikabarkan sakit mendadak itu menjelang diperiksa oleh aparat.  

"Benar dia mati?"

"Ya."

"Yang bener?"

"Kok ndak percaya?"

"Ya, ndaklah. Wong kemarin sehat. Malam sempat ngasih uang sama sopir temanku yang biasa mangkal di Senayan deket Resto Taman itu."

Pembicaraan bukannya mandeg. Namun melebar-lebar. Tentang Setnov yang dikenal kaya raya, yang kalau berjalan saja nyaris tak menapaki tanah. Mengambang. Sepatunya terus mengkikat. Batik lengan panjangnya licin, selicin jidatnya. Ia tampam dendi di usianya yang bisa dibilang tak muda. Karena perangkat yang menempel di dirinya yang super mahal.

"Dia belum pantas mati."

"Kok?"

"Lha, duitnya banyak. Masak sakit kecil mendadak gitu aja mati."

"Mestinya?"

"Ya, bisa selamat. Selama ini kan ia seperti punya jantung dobel. Hatinya sudah dibersihkan dengan uangnya yang banyak."

"Bisa jadi."

"Tapi kenyataannya, ia mati."

"Siapa sangka."

"Mungkin karena ia hanya diserang penyakit kecil atawa ringan."

Sopir satu itu manggut-manggut.

"Ruang kerjanya saja steril."

"Kau pernah masuk?"

"Pernah. Sekali. Sekali-kalinya. Saat ia ada ibu, isterinya datang tergopoh-gopoh. Kan aku mesti melindunginya. Boss saya. Yang bisa ngasih tak terhingga."

"O."

"Trus apa kau akan tetap kerja di keluarganya? Sebagai sopir?"

"Ya, ke mana lagi?"

"Bener, sih."

Mereka berpisah. Saat itu istri Setvov datang. Ia sengaja ingin mendatangi ruang kerja suaminya. Kali ini, sebagai sopir Setnov, ia membuntutinya di belakang wanita kinyi-skinyis itu.

"Kau mesti jujur!" katanya sambil membalikkan badan ke sopir yang dibuat gelagapan itu.

"Ya. Selama ini saya kan jujur, Bu. Saya meniru Bapak yang jujur. Dari wajahnya saja kan orang yakin kalau Pak Set itu orang jujur. Ndak pernah tersangkut korupsi atau apalah."

Wanita itu mendengus.

"Ini apa?" ia mengacungkan segepok amplop cokelat.

"Bu ...bu ...."

"Kenapa?"

"Buka saja."

Wanita itu mendengus. Ia berlalu. Namun karena tergopoh-gopoj, amplop cokelat itu membentur tiang pintu. Blaaaaar. Berhamburan uang dolar.

"Cepaaaat ambiliiiii ....!"

Sopir itu kaget. Dan ia menuruti perintah. Ia kaget ketika mulutnya disumpeli tiga lembar uang dengan gambar Presiden itu.

"Toloooong ...!" seru sopir itu.

"Baru segitu saja kamu mau matiiiii...."

Lelaki berbaju safari itu kelojotan. Matanya mendelik-delik.

***

AP, 12/9/17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun