Cerita masa lalu itu, barangkali kini sudah kian terkikis. Mengingat Bank Syariah yang modern dalam menjalankan traksaksinya. Setidaknya segala hal bisa dilakukan seperti umumnya Bank Umum. Jika demikian, maka sudah menjadi keniscayaan dalam menggunakan bank jenis yang satu ini. Bahwa segala seluk-beluk yang berkaitan dengan bank, Syariah menjadi pilihan.
Padahal, soal perbankan kian maju dan bergerak seiring dengan perkembangan dan kebutuhan zaman serta masyarakatnya – yang dinamis. Dan sistem syariah di negeri ini – kian menunjukkan kinerja yang membaik dan menemukan titik temunya. Bahwa jumlah mayoritas muslim dari di atas dua ratus lima puluh juta jiwa, sesungguhnya bisa lebih nyaman “bertransaksi” dengan cara yang lebih “syariah”. Nyaman.
Cara hitung-hitungan dalam kaitannya “bertransaksi” di Bank Syariah pun bisa didapatkan. Semisal Menghitung nisbah bagi hasil. Memang, terkesan aneh atau baru bagi yang akan melangkah masuk ke bank syariah. Namun, kalau menyimak bahwa kita, masyarakat, yang relatif baru mengenal perbankan jenis ini, akan mencari praktis saja. Sebagai nasabah iB, “Masyarakat tinggal menanyakan rate indikatif dari tabungan iB atau deposito iB yang diminatinya,” urai nara sumber dalam berbagai kesempatan sosialisasi Departemen Perbankan Syariah di hadapan Kompasianer.
MembumikandiwilayahnonMuslim
Dengan pakem-pakem dalam berhubungan dengan bank syariah dan perkembangan yang ada serta terus berinovasi, nasabah bank syariah ini akan eksis dan merasa tak di jalur lambat lagi. Mengingat 3 (tiga) pelayanannya yang setara dengan bank umum. Artinya, tak ketinggalan dan berbeda dengan bank konvensional. Kecuali sistemnya “bagi hasil” dan sekaligus kenyamanan secara psikologis.
Data bahwa Bank Syariah masih “terkotak” dan berkesan kearab-araban: ya. Meski istilah itu telah ditransformasikan agar lebih membumi di negeri yang mayoritas (sebutlah 85 persen) muslim. Sehingga kesan sekat bahwa Bank Syariah banknya orang muslim melulu, tidak benar sepenuhnya. Kendati benar, bank ini mengedepankan: Falah (sejahtera material dan spiritual). Yakni, adil, seimbang dan maslahat.
Ujungnya: untuk keselarasan nilai ekonomi syariah dengan nilai luhur dan tujuan pembangunan Indonesia.
Dalam keberlangsungan Bank Syariah, jelas mengacu pada UU yang kemudian berlaku seperti sekarang. Bahwa UU No. 21/ 2011 tanggal 22 November 2011, tentang Otoritas Jasa Keuangan memberikan mandate kepada OJK untuk pengembangan sektor perbankan syariah, mengingat fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sector perbankan termasuk perbankan syariah yang sebelumnya dilakukan Bank Indonesia beralih ke OJK mulai sejak tanggal 31 Desember 2013.
Oleh karenanya, Bank Syariah, ke depan semestinya tak lagi dipersepsikan sebagai bank yang asaskan agama semata. Memang dalam survei (BI-MarkPlus 2010) sebagai bank yang berasaskan Islam tak terelakan. Baik bagi seluruh individu (nasabah/user) maupun non user – mencatat antara 37,2 sampai 39,9 persen. Peringkatnya paling atas itu disusul: a. sistem bagi hasil, b. bank yang tidak pakai bunga, dan seterusnya.
Bila Bank Syariah sudah modern dan mendekati pelayanan modern bank umum yang ada di bumi Nusantara ini, kelak bias menjawab sebagai bank yang nyaman. Tersebarnya muslim di pelosok negeri dan sesungguhnya menjadi peluang untuk lebih membumikan perbankan yang syariah ini sebagai sebuah perbankan yang bisa dipakai oleh non muslim juga. Kiranya.