Lama aku pelajari satu puisi
Sayang, bila hanya angin yang mengerti
Kakinya yang memar karena terpeleset di selatan Kraton itu, kupijit-pijit. Sesekali ia menjerit kecil. Menahan nyeri.
“Kubasuh, ya?”
Ia mengangguk.
Rembulan di atas sehari setelah purnama, lumayan menerangi kami yang duduk di tepian kolam renang kecil guest house kawasan padat itu, dengan aku memijit-mijit betis putih Tika yang memar. Kami seperti terlempar jauh, entah berapa lama. Perjalanan kami ke Jogja melengkapi sebuah oase pertemuan-pertemuan selama ini. Sebelum terdampar di sini.
“Aku belum pernah melakukan perjalanan seperti ini ....”
“Dan dengan cara yang aneh.”
“Karena kau ....”
“Karena aku?”
Ia menggoyangkan badannya ke kiri yang menyenggol bahuku. Ah, tubuh yang lunglai sebenarnya setelah perjalanan panjang itu, sejak kemarin dan siang tadi kami beraktivitas di sana. Pertemuan dengan orang-orang yang diseret pada kreativitas yang kadang tak bisa dimengerti oleh orang-orang kebanyakan.