“Inilah perjuangan kita. Sekali-kali, jangan kendur ...!” kata lelaki yang disebut pemimpin itu.
Namun suasana sepi. Sunyi. Kepala tiga orang muda dan satu yang menjadi pemimpin yang ada di layar lebar itu ditekuk. Sama sekali tidak tegak dan bahkan gagah seperti ketika berjuang dalam aksinya itu.
“Tenang sajalah. Kita akan bela sekuat-kuatnya ....”
“Tapi ....”
“Apa? Tak ada tapi, wahai ...anak-anakku. Kalian ini pejuang. Aku pemimpinmu. Aku yakin, kita benar. Paling tidak, kalian akan masuk surga ....”
Dan banyak lagi yang diceramahkan lelaki itu. Mereka megangguk-angguk. Dan diam saja ketika punggungnya ditepuk-tepuk sebelum ditinggalkan. Dan kemudian merasakan ruang sempit dengan pintu berjeruji hitam.
***
Laki-laki pemimpin itu bergerak ke wilayah tempat tinggal empat orang yang ada di pintu berjeruji hitam itu. Satu-satu didatangi dengan gagah seperti biasanya. Semua diberikan arti semangat dan perjuangan.
“Ibu ini ibunya R?” katanya di kunjungan terakhir itu.
“Benar, Pak ....”
Kali ini lelaki berjanggut itu menghela nafas dalam-dalam. Dipandanginya sekeliling rumah sederhana itu. Dindingnya yang kusam, dan tak ada hiasan apa pun.