Nggak kebayang kalau Gus Dur menjadi presiden genap lima tahun. Lebih-lebih kalau sampai dua kali alias sepuluh tahun full. Mungkin akan banyak kebijakan yang membuat orang geleng-geleng kepala. Karena, misalnya, suasana sakral di Istana era Pak Harto ditabrak-tabrak ndak keruan. Ini karena bani Hasyim yang satu ini nyelenehnya minta ampun. Bukan alang-kepalang. Gaya pesantrenan pun dibawa ke Istana.
“Gus ...! Ini kami dateng ...mau minta sarapan. Jangan pura-pura tidur, ya,” ujar rombongan kyai dari Jawa Timur, setelah diperbolehkan masuk ke lingkungan Istana. Saat itu ada Gus Mus.
Kali lain, budayawan M. Sobary alias Kang Sedjo, bercerita. Ia malam-malam nyelonong ke Istana, dan oleh para bawahan RI-1 keempat disebutkan, bahwa Presiden sudah istirahat. M. Sobary pun bingung, dan menyebutkan bahwa ia sebenarnya diundang Gus Dur. Percakapan antara Kang Sedjo dengan orang Istana itu rupanya terdengar oleh Gus Gur. “Sopokuwi? Bar ...Bari yo. Sini masuk, aku belum tidur, kok!”
Pengawal Istana pun hanya bisa menarik nafas panjang. Seraya membuka kedua tangannya.
Pendeknya, Gus Dur oye! Lha, wong kunjungan dan jadwal pembicaraan dengan Bill Clinton di Gedung Putih saja bisa molor waktu. Orang nomor satu Paman Sam itu dibuat terpingkal-pingkalnya sampai kebablasan waktu yang ditentukan bagi tamu kenagaraan di Amrik nan ketat itu.
Itu semua karena apa? Gus Dur yang entengan. Tanpa sekat. Ia bergaul dengan segala macam kalangan. Tak aneh kalau kemudian muncul istilah Gusdurian atawa pengikut faham atau gaya Gus Dur. Terutama di kalangan Nadliyin. Walau dengan Muhammadiyah pun, keturunan pendiri NU itu tak keberatan apa-apa. Bahkan dengan Amien Rais, ia tak bisa dicegah berteman, meski ia kerap nyindir kalau pentolan Muhammadiyah itu kebelet jadi presiden. Eh, malah ia yang jadi presiden. Persis seperti yang diucapkan Emha Ainun Nadjib saat saya dan tiga teman, termasuk wartawan senior ke rumahnya di Patangpuluhan, Jogja, saat itu Cak Nun belum punya kelompok Kyai Kanjeng dan Pak Harto masih bertahta. “Kalau saya milih Gus Dur saja yang jadi presiden,” ujarnya setengah serius.
“Ya sopo sing iso meredam bar Pak Harto lengser? Gaya Jawatimurane Gus Dur kan kena. Bisa diterima banyak umat,” alasannya. Eh, sayang Habibie-lah yang menggantikan Presiden kedua yang malang-melintang 32 tahun itu.
Perihal Gus Dur kelewatan tolerannya, pernah dolan ke rumah Amien Rais dan rada-rada ndableg. Kalau istilah teman saya kerabat dari Amien Rais sih sederhana. Dolan dalam perspektif kyai sarungan ya entengan, nggak pakai rumusan. Nggat ada target. Termasuk entengan nggak akan tidur di hotel tapi memilih tidur di tamu yang didatangi. Maka saat Amien Rais mesti mengajar di UGM, eh Gus Dur ngomong enak saja, “Ya, silakan. Saya nunggu di sini,” katanya.
Dan ketika Amien Rais sore hari pulang memberi kuliah di UGM, Gus Dur masih di rumah. Hehehe.
Sikap toleransi Gus Dur ndak ada tandingannya. Termasuk menerima persahabatannya dengan etnis Cina yang tak tertahankan, tak berbatas itu. Bahkan ia bersedia nyanyi ketika digandeng Jaya Suprana yang memainkan piano untuk bersama – satu-satu, ding, lalu direkam – Megawati, dan tokoh lainnya. Ya, walau suaranya ... sumbang.
Puncak dari sikap entengan dan toleransinya, sekaligus kelewat berani, ketika Gus Dur sebagai presiden mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina pada 17 Januari 2000. Tujuh belas tahun lalu, Gus Dur yang berjalan bersama dengan Budi Tanuwibowo Sekretaris Dewan Rohaniwan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) di Istana Negara. “Oke, Imlek digelar dua kali, di Jakarta dan di Surabaya untuk Cap Go Meh. Kaget juga saya,” ungkap Budi, mengenangnya. Apalagi dilanjutkan dengan ucapan Gus Dur, “Gampang, Inpres saya cabut.” Bersamaan dengan pencabutan surat edaran tahun 1987 Mendagri Amir Machmud belum dicabut. Lha, masak Keppres kalah dengan surat edaran Menteri?
Sepuluh tahun dari pencabutan Inpres Gus Dur itu, ia meninggal. Ia seperti diceritakan Menteri Khofifah Indar Parawansa saat Gus Dur presiden dan sekarang menteri Kabinet Kerja, Kerja, Kerja Joko Widodo, berpesan, “Sepertinya hanya kepada saya Gus Dur berpesan tiga kali sebelum wafat. Pesannya, Mbak kalau nanti saya meninggal tolong di batu nisan saya diberi tulisan, TheHumanistdiedhere.”
Geeerrr!
Masih belum habis gaya entengan Wong Solo berbadan kerempeng sebaliknya dari Gus Dur yang gemuk, “Lha, mbok ya begitu yang rukun. Wong kita ini, kan, saudara, sebangsa dan se-Tanah air. Persaudaraan itu yang diajarkan oleh Gus Dur.”
Hadirin, para Gusdurian pun tertawa.
Pun dibarengi: Plok, plok!
Angkasapuri, 12/1/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H