Puncak dari sikap entengan dan toleransinya, sekaligus kelewat berani, ketika Gus Dur sebagai presiden mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina pada 17 Januari 2000. Tujuh belas tahun lalu, Gus Dur yang berjalan bersama dengan Budi Tanuwibowo Sekretaris Dewan Rohaniwan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) di Istana Negara. “Oke, Imlek digelar dua kali, di Jakarta dan di Surabaya untuk Cap Go Meh. Kaget juga saya,” ungkap Budi, mengenangnya. Apalagi dilanjutkan dengan ucapan Gus Dur, “Gampang, Inpres saya cabut.” Bersamaan dengan pencabutan surat edaran tahun 1987 Mendagri Amir Machmud belum dicabut. Lha, masak Keppres kalah dengan surat edaran Menteri?
Sepuluh tahun dari pencabutan Inpres Gus Dur itu, ia meninggal. Ia seperti diceritakan Menteri Khofifah Indar Parawansa saat Gus Dur presiden dan sekarang menteri Kabinet Kerja, Kerja, Kerja Joko Widodo, berpesan, “Sepertinya hanya kepada saya Gus Dur berpesan tiga kali sebelum wafat. Pesannya, Mbak kalau nanti saya meninggal tolong di batu nisan saya diberi tulisan, TheHumanistdiedhere.”
Geeerrr!
Masih belum habis gaya entengan Wong Solo berbadan kerempeng sebaliknya dari Gus Dur yang gemuk, “Lha, mbok ya begitu yang rukun. Wong kita ini, kan, saudara, sebangsa dan se-Tanah air. Persaudaraan itu yang diajarkan oleh Gus Dur.”
Hadirin, para Gusdurian pun tertawa.
Pun dibarengi: Plok, plok!
Angkasapuri, 12/1/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H