SESUNGGUHNYA Buku kian menjadi lembaran-lembaran masa lalu. Di negeri ini. Maka, jika ada yang terus berbisnis di bidang ini, ia berarti menempuh jalan sunyi. Jalan yang masih dipertahankan dalam romatisme? Entahlah. Yang jelas, kini era milenial. Serba digital.
Saya, mengenal pembuatan buku secara nyata tahun 1981. Waktu itu menjadi seorang korektor. Nah, bingung kan bagi teman-teman, apa itu korektor? Ya, mengoreksi teks-teks yang akan dijadikan buku, jika (ada) tanda baca, huruf dan ada kata yang salah. Sehingga kalimat mungkin meloncat atawa tidak nyambung.
Itulah pekerjaan seorang korektor era jadul. Selain mengoreksi hasil pekerjaan editor buku, saya kemudian me-lay out atau menata letak posisi halaman-halaman agar runtut dan tidak ada yang salah. Dari halaman francis hingga halaman akhir, yang bisa dicantumkan tentang siapa penulis buku itu. Semacam biografi singkatnya.
Itulah era buku sebelum milenial kini. Dan celakanya, saya menekuni penerbitan buku model jadul. Buku yang berlembar-lembar halaman kertas – dengan perkembangan modernitas dunia percetakan digital pula. Di mana setelah di-lay out dengan menggunakan komputer, lalu diproses dengan melewati tak lagi film tapi langsung plat. Plat yang dipasang di mesin cetak, dan wes-wes ... jadilah lembar-lembar halaman (calon) buku. Yang kemudian dilipat secara mesin pula, tak lagi menggunakan tangan manusia.
Apakah itu passion saya? Boleh jadi. Toh, pembuatan buku dengan lembar kertas masih asyik. Konon, di negeri ini yang membaca e-book belum di kisaran angka dua persen. Mungkin benar hasil survei Unesco (2013). Bahwa 1 (satu) judul buku dikeroyok baca oleh seribu orang.
Pakar Komunikasi UGM Ashadi Siregar menengarai. Bahwa di era milenial ini, buku semacam ensiklopedi takkan banyak lagi dicari baca. Cukup mencarinya di google atau data bebas – yang kadang kurang meyakinkan. “Namun buku karya kreatif, akan tetap dicari!” sebut pengarang Cintaku di Kampus Biru.
Boleh jadi. Bisa jadi, buku kian banyak diproduksi. Namun seperti serempak di TB Gramedia – kebetulan dua minggu lalu di Bandung – Matraman dan beberapa toko ini menggobral buku. Artinya, masih tetap. Jika buku masih jauh dari panggang api pembacanya. Maka boleh disebut, era milenial kini orang inginnya yang praktis-praktis termasuk dalam soal “membaca”.
KutuBukuBacaku
Saya penjaga gawang KutuBuku, komunitas di Kompasiana. Dalam rentang tiga tahun, sudah menerbitkan empat puluh judul buku, terutama yang ditulis oleh Kompasianer. Semua saya olah, edit hingga menjadi buku standar. Ini pilihan jalan sunyi itu? Mungkin. Jika tak ingin disebut jalan gila di era milenial ini. Sebab, faktanya teman para Kompasianer pun – notabene telah menulis di digital, online, FB atau apa pun menyebut terasa belum absah jika belum punya buku konvensional.
Sedangkan bagi saya, itulah barangkali yang disebut passion. Jika tidak, tiga puluh tahun lebih jalan sunyi itu, tentu diabaikan. Apalagi di kekinian.
Hitung-hitungan bisnis jalansunyi ini sesungguhnya nyata. Persentase dari penerbitan buku di negeri ini, jelas kecil sekali. Gerakan dan dobrakan agar Anak Negeri ini memburu bacaan – tak mesti buku kan? – terus digelontorkan.
Sebab, bila tak ada gerakan semacam ini, apa kata dunia? Generasi mendatang tak lagi bisa melihat dunia dari jendela yang satu ini. Hanya generasi yang melek pengetahuan melalui buku yang berisi ilmu secara lebih mendalam – bukan asa informasi selintas seperti di era kini.
Sederhana saja pikiran saya. Dari karya tulis besar seperti Ernest Hemingway, Williem Shakespeare Plato, Rabindranat Tagore, Jalalluddin Rumi, sampai penulis negeri sendiri Umar Kayam, Adinegoro, Chairil Anwar, WS Rendra. Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis kita diajak mengembara ke jalan-jalan lurus, dan kudus.
Walau sesungguhnya jika penerbit menjadi pilihan berarti bukan berarti sepi kekayaan. Sebab, kekayaan dari wilayah ini jauh melebihi dari modal jalan ke depan. Dan jika dalam empat tahun terakhir ini, kian menampakkan diri soal penerbitan buku, kenapa tidak? Ini mengingat usia yang tak bisa diajak tancep gas seperti dua puluh tahun lalu. Tenaga mesti diatur. Dan persambungan jejaring di Kompasiana memungkinkan. Angka empat puluh judul buku, bukan sesuatu yang disulap dari orang-orang yang memasuki era milenial.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H