Saya yang berjalan dari tempat duduk dari bis yang tak penuh penumpang, berdiri dan ada di dekatnya memuji. Setelah menunggu hampir 12 menit, lolos. Jalan ke kiri, dan ternyata memutari terminal sehingga melewati Warung di mana sudah kami tinggalkan tadi. Garuk-garuk kepala pun jadilah. “Apa bisa sampai di Museum Geologi jam dua siang?” gerutuku.
Kegilaan masih belum reda. Ternyata sopir separuh baya dan mungil itu mengambil rute jalan-jalan kecil sehingga seorang Bapak bersama istrinya tertawa-tawa kesenangan. Jelas, ia tahu rute salah, dan kemudian diamini istrinya, “Yang penting cepet sampai!”
Hadeuuuuh!
“Nanti turunnya di perempatan Dago, dan disambung angkot di Jalan Diponegoro itu!” terang Pak Sopir yang ndak didampingi kondektur. Kami pun membayar sepuluh reeebu untuk dua orang. Cling! Kontan.
Asyik mah kalau udah ngomong Dago. Di mana – kemudian menjadi Cerita Minggu Pagi 7, di mana ada kewajiban diri untuk nulis cerpen di K -- bersliweran mojang-mojangnya. “Lu yakin?” tanya Isson.
“Yah, masih lom caya juga!” sahutku.
Ia pun nguntit di belakangku. Dan ia segera nangkring di sisi sopir angkot. Rupanya ia ingin menjadi ahli hisap yang ndak betul. Merokok.
Tibalah, persis di depan Museum Geologi. Pukul 14.12.
“Kita poto-poto dulu!” ujar Isson.
Ah. Yayaya. ***