Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Jakarta-Bandung-Jakarta: Untuk Sebuah Nangkring Bareng Mojang

17 Oktober 2016   10:46 Diperbarui: 17 Oktober 2016   11:22 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nangkring di Museum Geologi, Rul in action (foto IH)

Ya, persis itu penggalan lirik lagu ketika kami, TS dan Isson, memasuki warung seberang. Gerimis mulai turun. Apa pasal manalah, ndak peduli kami. Sebab, ini tentang pengamen yang selalu ada di pintu masuk. Yang bisa nggitar dengan lagu-lagu lawas, serta slowrock dari Queen, Kansas, Deep Purple, Led Zeppelin, Simon and Gerfunkle atau yang ini: Leaving on Jet Plane. Sambil dibarengi tiupan harmonika. Duh.

So Kiss 

I hate to go!

ts-bdg-isson-2-580448aacc9273c50f8521ac.jpg
ts-bdg-isson-2-580448aacc9273c50f8521ac.jpg
Bandung, aku sudah benar-benar datang. Hingga hujan menderas, waktu terus bergulir, dan sudah mengingatkan Isson. Ritual saya kalau ke mBandung kalau ngeluyur tak jelas. Lupakan desah derita. Ini Paris van Java yang bisa dinikmati dengan sederhana.

“Kita ke Museum Geologi naik apa?”

“Naik bis kota!”

Persoalan menghadang. Warung yang inspiratif itu digenangi air mengalir deras di jalan beraspal depan warung itu. Dan keruh airnya. Ketika saya melihat pengunjung warung ke luar dan akan naik ke mobil pribadi pun, padahal ujung celana panjangnya sudah digulung, tapi tetap terjulati air keruh itu. Buktinya warna celana itu menjadi ... bergaris kehitaman hehehe.

Akal selalu menggedor. Maka kutinggalkan sebentar Isson yang makan ikan, sayuran plus sambal yang diambil sendiri dari cobek itu. Kucolek abang penarik becak. Teringat lagu desahannya Bimbo di mana Iin Parlina yang nyanyi: Hujan turun tiada merintanginya. “Pak, mau ngantar masuk ke terminal dan menuju Bis Damri?”

Di sini sudah penampkan mojangnya, Luana di samping Prof. Peb, Bang Bo dan TS (foto:IH)
Di sini sudah penampkan mojangnya, Luana di samping Prof. Peb, Bang Bo dan TS (foto:IH)
Alkisah menyebranglah lautan air keruh dari warung Ampera masuk ke terminal bis dengan naik becak. Romantis kan? Ya, kalau perjalanan sekejap itu di sampingku mojang, ndak lelaki yang sama-sama berkumis. Di mana becak ditutupi plastik agar tak tampias air dari langit dan uyel-uyelan bisa menghangatkan persentuhan lengan-lenganku dengan lengan berkulit susu. Lha ini?

Bis Damri biru itu pun beringsut. Celaka! Untuk bisa ke luar dari terminal saja pun tak bisa. Macet. Tersebab di jalan itu tergenang air. Sepeda motor, bis, kendaraan pribadi seperti dikemudikan orang-orang bukan “Bandung Bermartabat” yang bisa kita jumpai di halte-halte bus di Kota Kembang. Klakson beterbangan.

Ajaib. Sebuah ide rada-rada gila muncul dari sopir bis. Padahal, ia sudah berambut putih dan bertubuh mungil. “Kita jalan ke kiri. Memutar!” katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun