Ya, persis itu penggalan lirik lagu ketika kami, TS dan Isson, memasuki warung seberang. Gerimis mulai turun. Apa pasal manalah, ndak peduli kami. Sebab, ini tentang pengamen yang selalu ada di pintu masuk. Yang bisa nggitar dengan lagu-lagu lawas, serta slowrock dari Queen, Kansas, Deep Purple, Led Zeppelin, Simon and Gerfunkle atau yang ini: Leaving on Jet Plane. Sambil dibarengi tiupan harmonika. Duh.
So Kiss
I hate to go!
“Kita ke Museum Geologi naik apa?”
“Naik bis kota!”
Persoalan menghadang. Warung yang inspiratif itu digenangi air mengalir deras di jalan beraspal depan warung itu. Dan keruh airnya. Ketika saya melihat pengunjung warung ke luar dan akan naik ke mobil pribadi pun, padahal ujung celana panjangnya sudah digulung, tapi tetap terjulati air keruh itu. Buktinya warna celana itu menjadi ... bergaris kehitaman hehehe.
Akal selalu menggedor. Maka kutinggalkan sebentar Isson yang makan ikan, sayuran plus sambal yang diambil sendiri dari cobek itu. Kucolek abang penarik becak. Teringat lagu desahannya Bimbo di mana Iin Parlina yang nyanyi: Hujan turun tiada merintanginya. “Pak, mau ngantar masuk ke terminal dan menuju Bis Damri?”
Bis Damri biru itu pun beringsut. Celaka! Untuk bisa ke luar dari terminal saja pun tak bisa. Macet. Tersebab di jalan itu tergenang air. Sepeda motor, bis, kendaraan pribadi seperti dikemudikan orang-orang bukan “Bandung Bermartabat” yang bisa kita jumpai di halte-halte bus di Kota Kembang. Klakson beterbangan.
Ajaib. Sebuah ide rada-rada gila muncul dari sopir bis. Padahal, ia sudah berambut putih dan bertubuh mungil. “Kita jalan ke kiri. Memutar!” katanya.