Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja Jatuh di Pangandaran

18 September 2016   06:23 Diperbarui: 18 September 2016   09:07 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Minggu Pagi (4)

Winda melompat, hup!

Aku menyambutnya. Dengan menyergap tubuh sintalnya agar ia tak jatuh. Dan ia senang, tak memberontak. Kemudian ia memandangku penuh takjub.

“Kau masih sigap, Te Es.”

“Aku boleh mengecupmu?” aku malah seperti meracau. Bukan menjawab pertanyaannya.

Ih! Ia melepaskan diri, dan menjauh. Bibirnya dibekap. Namun matanya berbinar.

“Malu, atuh!”

Aku pun tertawa. Hanya menggosok-gosok rambut kepalanya.

Kami duduk mencangkung setelah berjalan menyusuri dermaga. Lalu seperti layaknya sepasang merpati tak pernah ingkar janji, saling diam. Hanya kepala saling berbenturan. Lembut. Menatap bersama sang surya yang hendak ke peraduan. Memerah setengah menguning. Bulat.

“Aku sudah menyangka kalau kau akan masuk final,” kataku. “Dan kau akan mendapatkan, setidaknya medali perak.”

“Aku kok nggak ingin ngomongin itu melulu ….”

Aku tertawa.

“Kau rindu, ya?”

Ia mencubit pahaku. “Nggak usah ditanyakan.”

“Kok tadi waktu mau kucium ndak mau.”

Ia mendelik.

“Bukannya ndak mau … tapi pengin yang lebih lama,” godaku.

Ih! Winda merengut.

Kami sama-sama diam lagi. Senja hampir sempurna dengan ujung bawah lingkaran matahari menempel ke laut. Kami sama-sama atlet yang sedang mengikuti kejuaraan tingkat nasional. Aku atlet terjun payung, dan Winda atlet terjun payung juga. Dilatih oleh seorang yang keras, disiplin dan tak ubahnya macan yang setiap saat akan menerkam kijang apabila bidikannya meleset. “Ini olahraga yang membutuhkan konsentrasi penuh. Dan nyawa taruhannya,” tegurnya jika kami sesekali ketahuan bercanda.

“Aku ingin pulang membawa mendali dan ….”

“Aku. Untuk kau kenalkan dengan ayahmu yang kangen momong cucu.”

Mentari tenggelam pelan-pelan. Winda diam. Ingin menyempurnakan senja yang tinggal sepotong. Mataharinya kian separo.

Blep!

Matahari habis masuk ke dalam laut. Aku menggandeng Winda. Untuk pulang ke tempat penampungan atlet satu daerah.

“Aku sudah mendapat medali emas. Kau pun akan membawa medali ….”

“Dan Te Es untuk kupersembahkan kepada Ayah.”

“Sang pelatih bagi kita berdua.”

Dari arah depan muncul lelaki yang tak kami sangka-sangka. Ayah Winda. Namun karena hari mulai gelap, aku tak melihat jelas kebengisannya saat ia sedang melatih kami. Entah Winda melihat dan merasakannya. Karena ia anaknya.

“Terlalu lama kalian ….”

Rupanya ia memperhatikan kami. Mungkin termasuk ketika Winda kutangkap saat melompat tadi, dan kupeluk selain hendak kucium.

Ah, seandainya, gumamku.

“Senja jatuh di Bandung Utara …,” aku nyanyi-nyanyi riang sepotong lagu Bimbo.

“Ini bukan di Bandung ….,” sergah Winda.

“Senja jatuh di Pangandaran …!”

 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun