Waktu, satu-satunya hal yang tak bisa elakkan dan ditaklukkan. Dan kini, memasuki abad di mana ruang dan waktu tak berjarak dengan belahan dunia mana pun. Sehingga – boleh jadi – orang beribadah pun tergerus, dengan dunia yang serba digital, cepat berlari. Atau benar, “Tuhan telah Mati”? Termasuk di negeri ini, yang masih hidup kearifan lokalnya?
Upacara larung atau Pesta Laut di sejumlah wilayah negeri ini, masih berlangsung tiap tahun. Seperti di Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Pantai Parangtritis, sampai Pantai Utara: Tegal-Pemalang-Pekalongan pun tetap dengan upacara adat itu. Di Bali, apalagi. Dan masyarakat tetap merawat keberagaman itu, tanpa usil kalau tidak ingin disebut terlibat dengan berbagai pertimbangannya.
Lalu, kita begitu miris budaya ber“sampurasun” kemudian justru dibelokkan oleh organisasi Islam yang mestinya menjadi kedamaian tanpa memaksakan kehendak. Padahal, budaya di tatar Sunda tak ada yang bertentangan dengan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Sehingga Acil Bimbo – yang selama ini menyuarakan lagu-lagu religious (jenis qasidah modern) perlu menantang pimpinan organisasi Islam yang berlebihan itu. Yang beginian, tentu, ruwet kita merawatnya. Bukan rahmatan lil alamin lagi, jadinya.
Di lapangan, tentu tak sedikit dengan adanya tafsir dan pemaksaan kehendak semacam itu. Celakanya, memang bila komandannya berwawasan dangkal tentang lingkungan, kearifan lokal yang semestinya dijaga bisa menjadi nista. Dan jika dianggap perlu, melalui pendekatan seperti panutan Nabi, Pendeta, biksu, atau para agamawan yang memberi dan menebarkan pehamaman secara damai. Bahwa kepanjangan tangan di daerah-daerah yang mengerti warganya. Di mana penyuluh agama, semisal di wilayah Bandung Barat yang selama ini diberi honor oleh Kemenag, menjadi mediator yang bekerja untuk menjaga umat. Untuk kebersamaan dan berdamai. “Tidak menutup kemungkinan Pemda juga memberikan insentif kepada mereka yang menjadi mediator program-program pemerintah,” sebut Bupati Bandung Barat Abubakar menindaklanjuti niatan kementerian ini.
Penjagaan seperti wilayah Bandung di atas, memang bisa menjadi rapuh di era digital dan media sosial sekarang ini: bisa berupa FB, twitter, instagram. Karena begitu mudahnya orang “memainkan media sosial”, dilakukan dengan tanpa diketahui siapa pun dari tangannya yang memegang gadget. Bentuknya bisa sederhana: teks, gambar atau video. Di mana jika sebuah kabar atau isu SARA dihembuskan dan menjadi viral, tak terhankan efek yang ditimbulkannya.
Pengguna internet di negeri ini, di kisaran 100 juta. Dan tak aneh kalau Indonesia, dalam hal pengguna internet via ponsel lebih banyak lagi. Atau dalam catatan, para netizen kita lima besar dalam menggunakan Google – penghubung terdekat dan termudah untuk menggunakan media sosial. Sehingga managing Editor Google Indonesia Tony Keusgen sadar untuk memperluan akses Internetnya di sini. Yang artinya, setiap saat bisa dilepaskan oleh tangan-tangan jahil apabila yang memegangnya tak bijak dalam kehidupan berbangsa di negeri ini. Termasuk, misalnya, bisa menyulut apa yang terjadi di Tanjungbalai, Sumatera itu. Atau hal yang mestinya tak ada hubungannya dengan agama, karena seorang mahasiswi S2 kesal, menyebut Jogja bukan tempat yang bagus. Maka, ia pun dibully balik, sebagai contoh sederhana. Bahwa penggunaan medsos pun perlu hati-hati dan bijak. Think before posting.
Pentingnya Bacaan Penghalus Budi Pekerti
Sastra, satu di antara yang perlu dibaca secara seksama. Yang “isinya” mengalirkan penghalusan budi. Jika di Amerika Serikat saja (salah satu) presidennya menyebut: bila politik itu kotor, (sastra) puisi yang akan membersihkannya.
Kata lain, bahwa kita diminta untuk membaca – bila dalam Islam seperti Iqro (bacalah!) – secara luas, termasuk teks sastra. Meski, kita mesti jujur. Dalam soal yang satu ini, membaca secara umum, termasuk membaca buku sebagai salah satu indikasinya sangat payah di negeri ini. Di mana Unesco (tahun 2013) sudah menerakan. Bahwa 1 (satu) judul buku dibaca oleh seribu orang . Sebuah petunjuk, kurangnya membaca.
Apa mau dikata. Jika orang yang membaca ditengarai akan menjadi berkepribadian halus, jelas kecil atawa sedikit jumlahnya, sayang. Mengingat teks-teks (terutama) akan membuat seseorang menjadi runut dalam berpikir sebuah hukum kausalitas: sebab-akibat. Terlebih jika ia mampu menuliskan buah pikirannya secara bertanggung jawab. Dalam berliterasi kita memang payah.
Setidaknya, pendiri Kelompok Pencinta Buku Anak (KPBA) Dr Murti Bunanta menyebut, bahwa dengan adanya media pandang dengar, terutama televisi saat itu: 90-an, menggerus upaya anak bangsa ini dalam soal membaca – yang belum addict soal membaca. Dan jika kita sedikit saja menyimak acara-acara di layar kaca kita, sungguh memprihatinkan jika dipegang oleh mereka yang menggunakan media ini sebagai bisnis. Di mana acuannya selalu rating atau hal-hal yang penting untung sebanyak-banyaknya. Sehingga seorang programmer yang seorang ayah tidak memperbolehkan anaknya untuk menonton hasil pekerjaannya: i.r.o.n.i.s. Tak ada kebanggaan seorang ayah yang mestinya ikut mendidik anaknya, anak sendiri.
Kepo Seperti Aleppo?
Mau tahu, kepo, seperti Aleppo, kota kedua terbesar di Suriah? Lihatlah foto Omran Daqneesh (5 tahun) yang berdebu dan berdarah-darah setelah terkubur di bawah reruntuhan rumahnya di Qaterji pasca serangan udara pasukan pemerintah. Ya, itu perang saudara, yang sudah terjadi sejak 5000 tahun lalu, sebagai kota bersejarah sarat konflik dan pertikaian.
Foto bocah korban pertikaian yang kemudian menyebar dari hampir seluruh media besar dunia itu menjadi pelajaran bagi kita di negeri ini. Karena bukan untuk memperlihatkan sebagai sebuah tontonan untuk menggiring warga dunia membenci orang yang mengunggah foto itu, seorang fotografer. Indonesia selama ini relatif kondusif, mengingat jumlah suku dan agama yang dianut dan 17 ribu lebih pulau bisa saling menjaga. Meski di mana media sosial bisa menyelusup tanpa diminta dan bisa menggoyahkan persaudaraan kita.
Maka, Pesantren Gontor yang baru merayakan 90 tahun, bisa menjadi ujung tombak penangkal jika kita – untuk menyebutkan nama: Emha Ainun Nadjib, Ahmad Fuadi, Nurcholish Madjid (Cak Nur) jebolan Gontor – mempunyai penulis yang bisa dipanutani masyarakat secara luas. Sehingga Cak Nur menjadi representasi, dari keluarga NU dan akrab dengan Muhammadiyah. Lebih luas, bisa disebut: Cak Nur tumbuh menjadi intelektual Muslim yang fasih dalam khasanah tradisi Islam klasik dan literatur modern berbahasa Inggris (Sukidi: Mengenang Cak Nur, Kompas 27 Agustus 2016).
Era media sosial yang gampang dimainkan, hanya bisa dikalahkan oleh pribadi-pribadi tangguh. Sebab, apa yang diunggah di media sosial hal-hal yang singkat, tanpa pendalaman sebagaimana sebuah buku yang secara umum menggunakan referensi dan kepustakaan bahkan kitab-kitab kuno atau bahkan kitab suci. Semisal teks singkat atau bahkan hanya meme yang cenderung vulgar.
Artinya, teks atau gambar yang diunggah oleh tangan-tangan usil dan jahat itu mudah dipatahkan bagi orang yang “biasa membaca” secara koprehensif. Apakah itu teks, alam, dan sosial budaya yang sedang berlangsung. Termasuk, tentu, media sosial yang tidak mendalam, yang lazim diunggah orang usil dan dangkal pemahaman religiusitasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H