Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuhan Telah Mati Beneran, di Era Kekinian Medsos?

28 Agustus 2016   11:31 Diperbarui: 28 Agustus 2016   12:17 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Umat Indonesia yang beragam (dok.pusponugroho.wordpress)

Kepo Seperti Aleppo?

Mau tahu, kepo, seperti Aleppo, kota kedua terbesar di Suriah? Lihatlah foto Omran Daqneesh (5 tahun) yang berdebu dan berdarah-darah setelah terkubur di bawah reruntuhan rumahnya di Qaterji pasca serangan udara pasukan pemerintah. Ya, itu perang saudara, yang sudah terjadi sejak 5000 tahun lalu, sebagai kota bersejarah sarat konflik dan pertikaian.

Foto bocah korban pertikaian yang kemudian menyebar dari hampir seluruh media besar dunia itu menjadi pelajaran bagi kita di negeri ini. Karena bukan untuk memperlihatkan sebagai sebuah tontonan untuk menggiring warga dunia membenci orang yang mengunggah foto itu, seorang fotografer. Indonesia  selama ini  relatif kondusif, mengingat jumlah suku dan agama yang dianut dan 17 ribu lebih pulau bisa saling menjaga. Meski di mana media sosial bisa menyelusup tanpa diminta dan bisa menggoyahkan persaudaraan kita.  

Sastra bisa diandalkan sebagai penghalus budi pekerti. Majalah Sastra seperti Horison bisa diandalkan. (foto:TS)
Sastra bisa diandalkan sebagai penghalus budi pekerti. Majalah Sastra seperti Horison bisa diandalkan. (foto:TS)
Sesungguhnya, dengan satu di antara ujung tombak pembendung SARA  adalah Pesantren – yang umumnya ada di daerah-daerah – menjadi niscaya. Apalagi jika mengajarkan menulis sebagai buah kelanjutan pelajaran iqro (membaca) untuk penghalusan budi pekerti dan akhlak warganya. Ya kelak mereka menyebarkan sepulang dari pesantren yang telah menguasai bahasa (baik Arab dan Inggris seperti diajarkan di Pesantren Darussalam Gontor). Bahkan, semisal apa yang dilakukan oleh Nurul Huda Maarif (36 tahun), Koordinator Majelis Pembimbing Santri Pondok Pesantren Qotrhrotul Falah di Lebak, Banten. Di mana ia bisa dan biasa menyemaikan toleransi dan umat beragama tak hanya di lingkungannya mengajar. Namun tak canggung bersama para santri notabene orang-orang muda bergaul dengan para pemeluk agama lain. Baginya, rujukan itu, sesungguhnya sudah ada dalam Kitab Kuning – yang kerap disebut kuno (baca: klasik) itu. Dan apalagi pengejawantahannya para santri menulis buku semisal Renungan Santri I: Esai-esai Seputar Problematika Remaja.  Lalu mendiskusikannya.

Maka, Pesantren Gontor yang baru merayakan 90 tahun, bisa menjadi ujung tombak penangkal jika kita  – untuk menyebutkan nama: Emha Ainun Nadjib, Ahmad Fuadi, Nurcholish Madjid (Cak Nur) jebolan Gontor – mempunyai penulis yang bisa dipanutani masyarakat secara luas. Sehingga Cak Nur menjadi representasi, dari keluarga NU dan akrab dengan Muhammadiyah. Lebih luas, bisa disebut: Cak Nur tumbuh menjadi intelektual Muslim yang fasih dalam khasanah tradisi Islam klasik dan literatur modern berbahasa Inggris (Sukidi: Mengenang Cak Nur, Kompas 27 Agustus 2016).

Era media sosial yang gampang dimainkan, hanya bisa dikalahkan oleh pribadi-pribadi tangguh. Sebab, apa yang diunggah di media sosial hal-hal yang singkat, tanpa pendalaman sebagaimana sebuah buku yang secara umum menggunakan referensi dan kepustakaan bahkan kitab-kitab kuno atau bahkan kitab suci. Semisal teks singkat atau bahkan hanya meme yang cenderung vulgar.

Artinya, teks atau gambar yang diunggah oleh tangan-tangan usil dan jahat itu mudah dipatahkan bagi orang yang “biasa membaca” secara koprehensif. Apakah itu teks, alam, dan sosial budaya yang sedang berlangsung. Termasuk, tentu, media sosial yang tidak mendalam, yang lazim diunggah orang usil dan dangkal pemahaman religiusitasnya. 

Sebuah upaya dengan melibatkan pemimpinnya, para agamawan dan tokoh (dok. Pemkot Bekasi)
Sebuah upaya dengan melibatkan pemimpinnya, para agamawan dan tokoh (dok. Pemkot Bekasi)
Media sosial, memang menyeruak begitu nyata. Dan Tuhan Telah Mati, seperti disebutkan Nietzsche, menjadi kian konkret bagi yang rapuh apabila tak membekali diri dari bahasa baik: kalau bisa bahasa “modern” Inggris dan bahasa “klasik” Arab. Mengingat media ini kian vulgar walau menyusupnya secara diam-diam. Angka-angka negeri ini menjadi pengguna lima besar internet (IT), adalah keniscayaan tak bisa dielakkan seiring waktu yang terus bergulir. Kecuali kita kembali pada iqro! Membaca secara baik, benar dan bijak! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun