kepada anaknya yang duduk di dalam gerobak.
Sang Bapak memejamkan matanya
berkerjap-kerjap membayangkan tubuh istrinya yang lebih banyak menguar bau sampah.
Dan anak semata wayang itu, sepanjang jalan memainkan boneka, diajaknya bicara
dengan bahasa mereka: “Kamu naik rumahku di sini saja, asyik, lho.
Kita bisa jalan-jalan terus. Bapakku baik, kok. Emakku apalagi. Setelah ndak bisa ngasih aku adik.”
Boneka itu mengerdipkan matanya yang biru, hingga bulu matanya yang lentik mengacung.
Hingga gerimis berganti hujan menepikan mereka di emper deret
bangunan bagus sepi tak berpenghuni
kecuali sesekali diteliti para lelaki berbaju biru tua-bertopi-berpentungan serta