“Apa boleh buat!” sahutku seraya tersenyum, yang berpotensi disebut bukan Jawa, dengan nama anehku yang tadi ditanyakan oleh seorang wanita cantik penari Istana masa lalu yang menjadi Nara Sumberku. Ini bukan nama Jawa, saya kira orang sana, katanya.
Saya tak membandingkan dengan Paris – yang memang belum pernah kusinggahi itu – dengan dua meja dialasi plastik cokelat pada senja di Perempatan Ciawi di warung Padang kecil itu. Namun sebagai lelaki pejalan, Alhamdulillah sudah pernah ke beberapa tempat eksotik: Pulau, Danau, Gunung, ini juga bagian dari sebuah ujung siang yang indah. Di tengah kemacetan pun. Di sepenggal perempatan yang bisa dibilang ruwet dengan pasar tradisionalnya itu. Di dalam kebergegasan orang-orang di persimpangan ke tempat-tempat wisata sekitar yang kian padat. Dan macet, sehingga istilah “buka-tutup” menuju Puncak menjadi kian akrab di telinga orang-orang Jakarta pada umumnya. Juga menjadi berita tak kenal basi di televisi: Puncak macet.
***