“Saya pikir, ide untuk membangun bandara di sini atau di wilayah ini, konyol.”
Ia menarik kepala ke belakang.
“Tapi kan ini untuk memajukan pariwisata kita di sini. Juga mungkin bisa memperlancar kalau Mas TS mudik seperti sekarang.”
Aku tertawa.
Ia tampak tegang. Tidak senang.
“Pusat, atau Kementerian Perhubungan tak usah disodor-sodori, tahu layak tidaknya sebuah wilayah membuat bandara. Sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan jalan tol, hampir nyambung ke sini.”
“Iya. Tapi ….”
“Lha, permintaan orang naik kereta api kelas argo saja kecil sekali di sini. Itu sebab sampai sekarang kereta kelas itu tak berhenti di stasiun kota ini. Industrialisasi juga mana?”
Lelaki yang belum memesan minuman hangat itu, merogoh kantong celana. Lalu mengaktifkan gadgetnya. Kemudian ia menelpon, setelah menyebut: Matiaku! Lalu berdiri. Dan pelan-pelan meninggalkanku yang saling pandang dengan ST.
Kami ngakak lagi. Menyeruak ke udara malam yang panas di Pantura ini.
***
Catatan: WTS, Wartawan tanpa Suratkabar
Angkasapuri, 3 Syawal