Saudara-saudara dari keluarga istri datang, berdatangan. Hebat-hebat. Memang mereka dari keluarga berketurunan darah biru. Namun dari keluarga bapaknya, banyak yang mblangsak. Hidup terlunta di Jakarta, dan minggir entah ke Tangerang atau Bekasi. Umumnya kedua wilayah itu.
“Sudah ke mana saja, Mas?” tanya sepupu istri, lelaki bertubuh tingi besar dan bekerja di ertambangan.
“Ya, keluarga besan dan mertua saja.”
“Oh.”
Lalu pembicaraan seperti biasa. Membosankan. Mereka orang-orang hebat, namun minus untuk soal well inform. Bacaannya payah, payah sekali. Meski gadgetnya kinclong-kinclong dan harga di kisaran dua juta ke atas. Cukup dengan sentuhan, muncul semua sesuai perintah.
“Di sini kana da wanita hebat, paling pintar dan paling benar….”
Mereka tertawa.
“Mungkin rumah besar ini akan roboh kalau tak ada dia. Yang mempertahankan mati-matian.”
“Ya, mestilah, Mas. Ini kan peninggalan Bude….”
“Itulah. Mbakyumu itulah yang pintar ….”
Tamu-tamu pun berseliweran. Datang dan pergi. Sampai kemudian sepi. Aku ditinggal istri yang ikut mereka. Entah ke mana. Bisa sambil memesan minuman satu gelas empat puluh ribu dengan mobil tidak dimatikan mesinnya. Yang katanya jauh-jauh daripada es dawet ayu yang segelasnya hanya lima ribu rupiah.